Yak, untuk semua penggemar Twilight, semoga terhibur dengan fanfic di bawah ini ya. Jujur, ini fanfic gw yang pertama (atau mungkin yang terakhir.. *dilirik tajam fans Twilight*) untuk fandom Twilight. Jadi, mohon maaf jika ada salah kata. Bagaimanapun gw ini manusia (yang sangat keren). Hehehe..
Sok atuh dibaca ajah..
-------------------------------------------------------------------
TUALAIT
(A Twilight Parody)
Pertama, Edward adalah manusia nyamuk.... Kedua, ada bagian dalam dirinya, dan aku tak tahu seberapa kuat bagian itu, yang haus akan darahku, apalagi ketika aku menungging. Dan yang ketiga, aku jatuh cinta padanya dengan syarat seperangkat alat sholat dibayar tunai.
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-
Aku baru saja sampai di Bogor, tempat dimana curah hujan lebih banyak daripada kota lainnya. Sehingga sinar matahari akan terlihat pada jam-jam tertentu saja, siang-siang tentu saja bakal terlihat, sedangkan malam, jangan ngarep deh! Entah mengapa aku memilih tinggal di kota kecil ini. Tapi jelas, aku tak akan tinggal dengan Rini, ibuku, yang baru saja menikah lagi dengan Phili―lebih senang jika dipanggil Upil―sales suatu produk di pabrik yang ada di Jakarta. Yeah, Jakarta. Aku pasti akan merindukan hawa panasnya, merindukan suasana saat ngungsi karena banjir, rindu dengan kemacetannya, dan dengan premannya yang bejibun. Eh, tapi pikir-pikir setelah dibaca ulang, aku tidak jadi rindu ama Jakarta deh. Hehehe….
Pokoknya sekarang aku tinggal di tempat Charli (nama asli Sujana, gara-gara ngefans dengan ST12 jadi pake panggilan itu), kepala hansip di kampung Cikiruh yang berada di kaki Gunung Salak. Untung Gunung Salak sering menyikat kakinya, jempolnya jadi gak bau dan penduduk Cikiruh yang berjumlah 101 Dalmation setengah jiwa bisa betah tinggal.
“Trims, Charli!”
“Yah, sebenernya bukannya tidak mau mengubah, tapi karena aku malas membereskannya... hehe....”
Hadiah dari Charli? Aku mendelik ke arahnya. Biasanya kalau tidak poster ST12, hadiah darinya itu video rekaman Charli saat dia konser di organ tunggal yang suka ada di acara kawinan.
“Jadi, Bela, ini kamarmu,” kata Charli setelah tiba di depan kamar yang berada di lantai satu, “Aku tak mengubahnya sedikitpun semenjak liburan terakhirmu.”
“Trims, Charli!”
“Yah, sebenernya bukannya tidak mau mengubah, tapi karena aku malas membereskannya... hehe....”
Ok, satu hal tentang Charli, dia memang tidak pernah berbasa-basi. Dan mataku pun membelalak, ketika sadar kenapa Charli berkata begitu. Kamarku benar-benar berantakan. Aku jadi ngeri memikirkan seperti apa diriku saat masih kecil. Aku memang terakhir kali berkunjung ke sini waktu berumur sekitar empat atau lima tahun.
“Tenang saja, aku pasti akan membereskannya kok. Di Jakarta kan aku sekolah di Sekolah Kejuruan Pembantu Rumah Tangga,” jawabku sambil memutar bola mata Charli, ups, bola mataku.
Charli mengangguk, lalu membuka mulutnya dan berkata, “Setelah selesai beres-beres, kau turun ke bawah ya, aku punya hadiah untukmu.”
Hadiah dari Charli? Aku mendelik ke arahnya. Biasanya kalau tidak poster ST12, hadiah darinya itu video rekaman Charli saat dia konser di organ tunggal yang suka ada di acara kawinan.
“Bukan, hadiahnya tidak berhubungan dengan ST12!” seru Charli seperti bisa membaca pikiranku. “Ketahuan sih kalau kau sedang curiga, mulutmu tambah maju beberapa meter, dan matamu mendelik seperti aktris-aktris sinetron kita..” Wajahku memerah, yeah, Charli memang tidak pandai berbasa-basi. “Ah, pokoknya kutunggu kau di bawah, okeh?”
Aku mengangguk sekali, memperhatikan Charli keluar dari kamarku, setelah itu kembali melihat keadaan kamarku yang bagaikan sarang tikus. Bahkan mungkin sarang tikus saja lebih rapi dari ini, lihat saja bagaimana rapinya sarang si Jerry dari kartun Tom & Jerry kalau tidak percaya. Kugerakkan saja tanganku ke saku belakang celanaku untuk mengambil tongkat sihirku. Kemudian kugerak-gerakkan tongkat itu agar semua benda yang berserakan itu merapikan diri sendiri. Namun… akhirnya aku sadar, ini bukan fanfic Harry Potter, ini FF Tualait.. (backsound: kriik... kriik... kriik...). Tersadar kembali ke realita, kubereskan saja semuanya dengan tenagaku sendiri sambil tetap ngarep kalau ini adalah FF Harpot.
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-
Ini hari pertamaku ke sekolah baruku, SMA Cikiruh I yang berada tak jauh dari rumahku. Well, tentu saja kisaran jauh-dekat di kota dan di desa itu berbeda. Dan dekat menurut standar desa sini adalah sekitar 1-2 km dan jika ditempuh jalan kaki bisa sampai sejam, setengah jam kalau sambil ngesot (jangan tanya kenapa ngesot bisa lebih cepet!). Oleh karena itu, Charli memberiku hadiah mobil, ya, kalau kau sebut itu mobil. Karena pada nyatanya itu adalah kendaraan yang biasa digunakan untuk mengangkut hasil kebun/sawah, berbentuk seperti traktor beroda tiga hanya saja memiliki bak di belakangnya. Benda itu akan mengeluarkan suara berisik jika kunyalakan, dan karena suara berisik yang mirip gonggongan itu, tadi ada anjing kampung yang mengejar-ngejarku karena mengira aku membawa anjing betina.
Grok gok gok... Dem dem demm dem demm...
Begitulah suara mobilku saat aku mematikan mesinnya setelah kuparkir di halaman sekolah. Murid-murid lain memperhatikanku, seakan aku telah mencuri masing-masing upil mereka. Aku hanya bisa mengacuhkan mereka dan berjalan terus sambil menunduk. Saat itulah aku sadar, kaos kakiku berbeda warna trus kayaknya aku sudah menginjak batu hipu (translate to Indo: batu empuk) alias kotoran kerbau. Huah, pantas mereka memperhatikanku.
“Hai, kau Bela kan? Yang berasal dari Jakarta trus punya kebiasaan ngorok dan garuk-garuk pantat pas lagi tidur?” tanya seseorang padaku, entah darimana dia mengenalku, tapi dari kampung kecil yang penduduknya sedikit berita kepindahanku pasti dengan mudah menyebar.
“Iya aku Bela,” jawabku singkat.
“Kenalkan! Saya Erik!”
“Oke, salam kenal. Kalau begitu, aku pergi ke kelasku dulu, ok!”
“Tap―tapi...”
“Sampai ketemu lagi,” potongku seraya terus berjalan meninggalkan dia.
“Hei, Bela! Aku baru mau memberitahu kalau kelasmu itu ke arah sini, kalau ke sana sih sama saja kau mau keluar sekolah dan pulang lagi ke rumah -_-!” kata Erik yang berhasil menyusulku. Duh, membuatku malu saja, untung ini hari pertamaku. Tapi demi menjaga imej, aku pun beralasan, “Oh, terima kasih, Erik! Sebenarnya aku sudah tahu di mana kelasku, aku cuma mau ambil barang yang ketinggalan di kendaraanku kok... hehe...”
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-
“Selamat pagi, anak-anak!”
“Selamat pagi, Pak Guru!”
“Hari ini kita kedatangan murid baru dari kota Jakarta...”
“Was... wes... wos... bla... bla... bla... bret... bret... plung...” seluruh kelas langsung berisik setelah Pak Guru memberitahukan berita tadi.
“Ya, sepertinya kalian sudah tahu kalau murid baru ini bernama Bela Suan, eh, bener gak namanya teh? Salah yah. Siapa teh yang bener?”
“Bela Sujana, Pak!” jawabku tegas.
“Nah, iya itu.. Pokoknya selamat datang ya. Dan kau bisa duduk di sebelah bangku Eed,” kata Pak Guru, menunjuk bangku paling belakang yang berada di pojok kanan. Dimana di sana sudah ada seonggok manusia berkulit pucat, bernama Eed tadi. “Eed itu pindahan dari luar kota juga lho, sama kayak Bela. Jadi seharusnya kalian akan cocok...”
Aku tersenyum malu-malu. Sejak kecil kalau disinggung soal cowok pasti selalu begitu. Yah, kali aja dengan senyum begitu, ada cowok yang kepincut (atau malah ngejauhin ya?).
“Yak, silakan duduk kalau begitu...”
Instruksi dari Pak Guru langsung saja kuturuti. Ya jelaslah, siapa sih orang yang mau berdiri terus tanpa duduk? (backsound: orang bisulan di pantat). Sesampainya di kursi yang tadi ditunjuk oleh Pak Guru, langsung kuhenyakkan tubuhku di atasnya. Kupandangi sebentar teman sebangkuku yang baru, dan entah kenapa si Eed teh malah ngejauh. Oh iya, bekas nginjek kotoran kebonya kan belum dicuci yah tadi. Huhuhu... pantes aja.
Berikutnya, Pak Guru segera memulai pelajarannya, pelajaran Biologi. Tentang cara menanam padi yang baik dan benar. Dari sini aku jadi tahu, kalau posisi pantat saat menanam padi sangat berpengaruh pada pertumbuhan tanaman itu kelak. Sambil terus mendengarkan penjelasan Pak Guru, mataku diam-diam melirik kepada makhluk di sebelahku, yang entah kenapa langsung memalingkan wajahnya. Sesaat aku sempat melihat matanya yang hitam pekat. Eh, kayaknya ga usah lebay deh, semua mata orang Indonesia kan hitam ya? Ngg, tapi dia pindahan dari luar kan? Darimana ya?
Ting... Ting... Bel istirahat berbunyi. Tapi benarkah itu bel istirahat? Soalnya suaranya kentara sekali adalah mangkok yang dipukul sendok.
“Yak, tak terasa bel tanda istirahat sudah berbunyi,” kata Pak Guru, kemudian menatapku yang mungkin menampakkan wajah konyol karena kebingungan, “Bagi yang belum tahu, bel listrik kita sudah tak berbunyi―listrik sudah dicabut―jadilah menggunakan cara manual a la tukang bakso. Oke, kalau begitu, sampai ketemu di pelajaran berikutnya!”
Ya ampun, kalau saja di dunia nyata bisa memasang emoticon sweatdrop pasti akan kupasang sekarang juga. Memang sih hal tersebut kreatif, setidaknya mereka tidak memukuli jidat pak guru yang lebar itu, yang kuyakin bakalan mengeluarkan suara ‘goong’ jika itu memang terjadi. Tak usah dipikirkan lah, yang penting sekarang aku harus pergi ke kantin untuk mengisi perutku dengan makanan.
Di kantin, yang terletak di belakang sekolah suasananya sungguh adem. Berani jamin deh, makan bakso yang panas di sini bakal terasa sedang menyeruput es buah, saking ademnya. Dan itulah yang sedang kulakukan sekarang, menyeruput bakso. Kemudian, ketika aku menyimpan mangkok-ku di atas meja lagi, tiba-tiba sudah ada dua orang yang mengapitku, dan dua orang yang duduk di seberangku.
“Kami boleh gabung kan?” tanya salah satu dari mereka, oh iya, itu kan si Erik yang tadi pagi ngajak kenalan. Aku hanya tersenyum, menyatakan ‘iya’ atau kalau lengkapnya ‘iya deh, asal tahan dengan bau sepatuku’. Ups, benar juga, aku masih belum mencuci sepatuku juga.
“Hai, Bela... Aku Mike,” kata seorang lagi, “Nama asliku Acim sih, tapi temen-temen semua memanggilku Mike...” Dia diam sebentar, kemudian melanjutkan, “harus kupaksa dulu sih supaya manggil itu...”
“Kalau sayah Jesika, sok panggil ajah sayah Ikah nyah?” sekarang yang cewek yang berbicara. “Inih si Angela, iyah bener, bacanya tuh A-nge-la, bukan En-jela kayak nama pemaen pelem di tipi... Atau bisa panggil dia si Ela,” katanya lagi menunjuk pada perempuan berkacamata di sebelahnya.
“Salam kenal semuanya, senang bisa berkenalan dengan kalian, apalagi kalau kalian bersedia membayarkan baksoku ini. Hehe...” jawabku, disambut teriakan merdu dari mereka berempat, “KITA KIRA, KAMUH YANG BAKAL TRAKTIR TAUK!!” lagi-lagi membuatku ingin memasang emot sweatdrop. Lalu suasana tiba-tiba menjadi hening, dan tanpa dikomando, semua tertawa terbahak-bahak. Hahaha... Akhirnya aku menyadari kenapa RSJ bisa banyak pasiennya sekarang ini. Tetapi aku senang, karena setelah itu, kami semua bisa mengobrol dan bersenda gurau seperti teman lama. Eh, ralat deh, mereka doang yang ngobrol, aku sih cuman ikut ngakaknya ajah. Hehehe...
Whuuss... Tiba-tiba angin berhembus dari arah timur, sekelompok geng masuk ke kantin dengan cara jalan yang anggun, atau kalau diperhatikan seperti terbang. Ketika mereka melewati mejaku, aku dengar suara bising yang sepertinya sudah tak asing lagi, seperti suara ngorok atau sesuatu gitu. Dan betapa kagetnya diriku karena si Eed ada di dalam geng itu, akhirnya dengan refleks aku bertanya, “Hei, mereka itu siapa sih? Kok kayak sekumpulan geng gitu?”
“Kikikiki...” si Ikah ngikik dulu sebelum menjawab, “mereka ituh keluarga Pulen, anak angkat Kang Lile yang bekerja di puskesmas deket-deket sinih. Ibu angkatnya, Ceu Ameh, terkenal suka bikin nasi yang pulen. Anak-anaknya tuh suka bawa nasi bekel dari ibunya ituh, terus anak-anaknya teh pasti selalu menolak makanan lain selain nasi pulen ituh. Makanyah semua pada manggil mereka keluarga Pulen!”
“Oh, begitu ternyata. Ngg, terus mereka itu pindahan dari mana sih? Soalnya kata Pak Guru kan si Eed, pindahan juga sepertiku...” tanyaku masih penasaran.
“Pindahan dari desa sebelah kayaknya,” si Angela baru ngomong. “Lihat sajah, mereka mah ganteng-ganteng dan cantik-cantik, hanya saja...”
“Hanya saja apa?” tanyaku belum mengerti, dijawab oleh Acim, eh, Mike dengan mengarahkan telunjuknya ke daerah bibir. Akhirnya aku pun sadar, mereka semua memiliki kesamaan, gigi mereka sama-sama tonggos!! So seksi! Aku memang suka orang dengan penampakan unik seperti itu. “Ngg, trims, Mike sudah memberitahu... Trus, trus... kalau nama mereka masing-masing siapa saja?”
“Sekarang biar aku yang menjawab,” si Erik yang bersuara, dia mendekat ke arahku dan berbisik pelan-pelan, “Yang bertubuh dan bergigi paling besar, itu si Mamet. Trus yang perempuan, rambutnya kriwil-kriwil kayak mie, itu si neng Eros. Yang perempuan satu lagi, yang rambutnya pendek, namanya neng Elis. Laki-laki di sebelahnya si Enjes. Terakhir mah pasti tahu, ituh si Eed, yang sebangku ama Bela..”
Unik... Unik... dan Unik... Itu yang ada di pikiranku sekarang. Penampakan serta nama mereka yang unik membuatku semakin tertarik saja.
“Eh, Bela, jangan mikir untuk deketin mereka deh...” sekarang si Mike lagi yang ngomong. “Suka ada dengung suara yang aneh kalau deket-deket mereka. Makanya jarang ada yang mau deketin mereka.”
Aku mengangguk setuju. Soalnya memang tadi juga aku sudah mendengar dengungan itu kan? Tapi aku tetep penasaran ah. Lagipula cerita tualait mah emang kudu kayak begonoh atuh. :P
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-
Bel pulang sekolah sudah berbunyi. Kubereskan semua alat tulis dari atas mejaku. Kulirik Eed sebentar, aneh, dengungannya tak terdengar. Apa hanya terdengar jika sedang berjalan saja ya? Ya, sepertinya begitu. Kulirik lagi dia, dia memandangku balik. Aku kaget, langsung kutundukkan kepalaku. Kalau aku tak salah lihat, tadi warna matanya berubah, bukan hitam lagi! Oh iya, sekarang kan sudah siang, sinar matahari lebih memperjelas matanya, mata orang Indonesia kan aslinya memang coklat. Sekali lagi, jangan lebay plis!
Setelah semua perkakas tulisku tersimpan aman dalam tas, aku pun segera beranjak pergi meninggalkan Eed yang sepertinya masih memandangiku. Dan tiba-tiba tangannya meraih pergelangan tanganku.
“Bela, jangan pergi dulu. Kita belum berkenalan secara resmi kan?” jawabnya dengan suara sopan. Yang entah mengapa membuatku berdebar-debar, apalagi jika melihat bibirnya itu. “Namaku Edwart, panggil saja Eed!”
“Ah, yah... Aku Bela. Salam kenal kalau begitu,” balasku, melepaskan tangannya, kemudian berlari keluar kelas dengan wajah yang terasa panas. Apakah ini perasaan cinta? Atau wajahku sudah dari sananya begini?
Lalu sesampainya di luar, aku langsung berlari menuju tempat di mana aku memarkir kendaraanku. Wah, rupanya di luar sedang hujan rintik-rintik ditambah kabut. Aku harus hati-hati nih agar tidak terpeleset, jalannya pasti licin banget. Apalagi ditambah dengan ranjau-ranjau darat yang bertebaran. Jadilah aku memperlambat jalanku, biar lambat asal cepat kan? Halah.
Setelah aku menemukan mobilku itu, aku menoleh sebentar ke belakang dan melihat si Eed sedang ada di gerbang sekolah, memperhatikanku dari jauh. Kulempar pandanganku lagi ke depan, berusaha berkonsentrasi membuka kunci gembok pintu mobilku. Tetapi hal berikutnya yang terjadi membuatku terdiam membeku di tempat, ada sapi ngamuk yang datang ke arahku! Aku benar-benar terdiam, tak bisa apa-apa hanya pasrah menunggu saat sapi itu menyerudukku dengan hidungnya yang seksi. Sapi itu semakin mendekat, jarak kami hanya tinggal beberapa jengkal, dan tiba-tiba terdengar suara dengung familiar seiring lewatnya seseorang di depanku. Rupanya orang itu adalah Eed, dia menghadang sapi ngamuk tadi, dan tebak, berhasil! Ternyata sapi tadi itu hanya kebelet mau buang air besar, tetapi malu untuk ‘poop’ di depan orang banyak, si Eed yang menyadari hal itu memberi topeng pada sapi itu, dan keluarlah segala kegundahan Sang Sapi.
Lalu setelah itu semua orang mengerumuniku, beberapa orang juga memberi selamat kepada si Sapi yang telah melewati kesulitannya. Herannya, si Eed sudah menghilang, tak ada di sampingku lagi.
“Bela, kau tak apa-apa? Untung saja sapi itu tidak jadi menyerudukmu ya?” tanya si Mike, terlihat khawatir.
“Tapi, tadi si Eed yang...”
“Iyah, rupanyah sapi ini teh cuma ingin B-A-B saja yah? Hihihi... Lucu juga!” potong si Ikah.
“Untunglah, kau masih bisa selamat!” ujar si Erik, bukan padaku melainkan pada si Sapi. Si Angela langsung menoyor kepalanya.
“Ngomong-ngomong, tak adakah yang melihat si Eed? Kan tadi dia yang menyelamatkanku!” akhirnya aku punya kesempatan bicara.
“Eed? Ada juga sapi ini eek... hehe... Nggak, Bel! Kita ga ngeliat dia kok, dari tadi hanya kamu dan sapi ini di sini...” jawab Mike, terlihat jujur.
Duh, apakah kepalaku terbentur sesuatu ya? Sehingga berhalusinasi si Eed sudah menyelamatkanku. Tapi tadi itu nyata! Itu pasti si Eed! Dengungannya, mulut seksinya, aku yakin tadi itu dia! Aku pun melirik ke arah gerbang sekolah, berusaha mencari-cari di mana gerangan sang penyelamatku itu. Tetapi dia memang tidak ada, bahkan keluarganya pun sudah tidak ada. Uh, pokoknya akan kuselidiki lagi nanti!
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-
Keesokan harinya, aku datang ke sekolah pagi-pagi sekali. Berniat untuk menunggu gerombolan si Pulen datang dengan mobil mereka, mobil Mitsubishi Colt, jenis mobil yang termasuk mewah di sini. Jelas sekali, aku harus meminta penjelasan tentang kejadian kemarin. Agar aku tidak disangka gila oleh orang yang tidak percaya dengan cerita Eed yang menyelamatkanku.
Ckiitt. Suara decit ban itu keluar dari mobil Colt keluarga Pulen. Rupanya mereka juga datang pagi sekali, ya jelaslah ya, kan masuk sekolahnya juga jam 7. Pasti semua juga dateng pagi-pagi. Langsung saja kudatangi mobil mereka. Namun betapa kagetnya diriku, karena yang keluar dari mobil itu banyak sekali. Ah, itu kan mobil angkot, pantes aja atuh yang keluarnya banyak.. Akhirnya aku pun harus menerima pandangan aneh dari orang-orang yang turun dari angkot tadi. Kutundukkan kepalaku untuk menghindari kontak mata dengan mereka, dan betapa bodohnya aku saat menyadari kalau baju yang kupakai masih baju kimono untuk tidur. Mungkin saking terburu-burunya datang ke sini kali ya. Duh, jadi malu! Kemaren, kaus kaki beda sebelah, sekarang salah baju, besok apa lagi? Huhu…
Ckiit... duar... glundung-glundung... dugg...
Nah, nah, bunyi apa pula itu sekarang? Aku pun mengalihkan pandanganku ke arah suara tersebut. Dan mendapati mobil Colt yang terguling-guling dahulu sebelum terparkir sempurna. Hebatnya lagi, orang yang keluar dari mobil adalah keluarga Pulen. Rupanya cara mengenali kedatangan mereka seperti itu ya? Benar-benar unik, membuatku tambah suka kepada orang yang menyupirnya. Yap, supirnya si Eed pastinya. Ups, aku harus kembali ke misi semula. Kudatangi saja si Eed, kupegang tangannya yang, ngg, terasa dingin seperti ada angin yang meniup dari belakang.
“Eed, mengaku saja! Kau kan yang kemarin menyelamatkanku?” tanyaku langsung pada pokok masalah.
“Eh? Kapan? Kemarin, setelah bel sekolah, aku langsung pulang lho!” jawabnya.
“Tak mungkin, aku melihatmu di depan gerbang sebelum si Sapi itu menyerang. Dan saat berikutnya kau berada di depanku dan menghentikan serangan binatang tersebut!”
“Mana mungkin ada orang yang berlari secepat itu kan?”
“Ada, dan itu adalah kau! Itu juga pasti bukan berlari, melainkan terbang!” balasku lagi sambil mengutarakan teori bodohku.
“Bagaimana kau...”
“Benar kan?” potongku cepat. “Aku tahu kalau kau adalah... manusia nyamuk!”
“Haha, teori bodoh apa pula itu? Jadi, apa buktinya?” tanya Eed lagi, yang membuatku heran, dia itu bukannya takut identitasnya terbuka malahan terlihat senang.
“Satu. Gigimu itu lho! Pasti itu sengat yang digunakan untuk menghisap darah!”
“Lalu...” kata Eed masih tenang.
“Dua. Setiap kau dan keluargamu lewat, pasti terdengar suara dengungan! Aku tahu, itu suara bising yang biasanya keluar dari nyamuk-nyamuk nakal yang sukanya mencuri ketimun! Halah...” aku diam sebentar untuk menarik nafas, “Tiga. Cara jalanmu itu kalau diperhatikan, tidak menapak ke tanah. Kemarin pun terbukti, kau yang tadinya ada di gerbang bisa tiba-tiba ada di depanku. Itu pasti karena terbang, menggunakan sayapmu yang berisik itu, yang aku yakin ada di kedua ketiakmu! Buktinya, tanganmu selalu dingin, pasti karena selalu tertiup angin dari ketiakmu itu! Terakhir, waktu aku pertama kali duduk denganmu, kau pasti tertarik dengan bauku―bukan bau kotoran yang kuinjak itu―dan ingin segera menjauh, agar tidak membunuhku kan?”
Eed bertepuk tangan sambil tersenyum. Sedangkan keluarganya terlihat kuatir, kecuali Mamet dan Elis.
“Impulsif!” kata Eed (yang langsung dibisiki oleh Elis “Impresif, Ed!”) sambil tetap bertepuk tangan. “Yah, very impul, eh, impressive!”
“Jadi...?”
“Ya, semua teorimu itu benar adanya, Bela! Aku dan keluargaku memang manusia nyamuk... Tetapi kami hanya menghisap darah hewan kok, sumpa dee!”
“Eh, kau juga menghisap darah? Bukannya hanya nyamuk betina yang menghisap darah?” aku jadi kebingungan.
“Itu rumor! Kami, yang jantan, juga meminum darah kok,” jawabnya.
“Lalu, kau juga bisa keluar di siang hari, biasanya kan nyamuk keluarnya malam-malam...”
“Itu juga rumor. Ng, lagipula kami ini nyamuk Aedes Aegypti, yang memang suka terbang siang-siang juga... Yah, asalkan tidak terkena sinar matahari saja, kalau tidak identitas kami segera ketahuan oleh semua orang..”
“Oh, pantas saja kau memilih tempat ini, tempat yang sering hujan, sering berkabut pula, dan banyak hewan liar di hutannya.”
“Ya, Bela, kau benar lagi...”
“Trus... Memangnya apa yang terjadi kalau kau terkena sinar matahari? Matikah?”
“Bukan... err, nanti biar kutunjukkan saja ketika bel istirahat. Pada jam itu matahari pasti sudah cukup menyengat...”
“Oke...” kataku singkat.
-=-=-=--=-=-=-=-=-
Bel istirahat terasa sangat lama di saat aku sedang membutuhkannya. Membuatku berpikir untuk benar-benar memukul jidat Pak Guru yang lebar. Atau gigi Eed juga bisa berbunyi nyaring ya kalau kupukul? Aku tersenyum sambil melirik ke arah Eed yang balas tersenyum juga, memamerkan gigi tonggosnya.
Teng... Teng... Teng... Wow, akhirnya bel berbunyi juga. Tapi kok bunyinya beda dengan yang kemaren ya? Selidik punya selidik, ternyata mangkok yang sekarang dipakai untuk bunyiin bel kreditannya belum lunas tuh. Hihihi...
Set... Aku memandang Eed lagi, dia mengangguk. Kami pun segera keluar dari kelas, bahkan keluar sekolah. Eed memberi komando kepadaku agar aku naik ke punggungnya. Tadinya aku menolak, tapi tak apalah, kalau ada apa-apa kan bisa diberi nafas buatan oleh si Eed. Hup, aku meloncat ke punggungnya, dia pun segera melesat terbang di antara pepohonan di hutan yang berada di belakang sekolah. Entah kemana dia akan pergi membawaku, soalnya sisa perjalanan itu aku tertidur, abis enak sih anginnya adem, jadi bikin ngantuk.
“Bela, kita sudah sampai,” bisik Eed di telingaku, pelan-pelan kubuka mataku.
“Di mana kita?”
“Di atas pu’un paling tinggi di hutan ini, sehingga matahari bisa menerpa kulitku, dan tak akan ada orang yang melihat selain kita..”
“Oh, di atas pohon... APPPAH? DI ATAS POHON!! POHON APA?!” aku berteriak-teriak panik.
“Aduh, maaf. Kau takut ketinggian ya?” tanya Eed begitu perhatian.
“Bukan, bukan begitu. Aku alergi dengan pohon toge, nanti aku bisa gatal-gatal!”
“Ya ampun, pohon toge mana ada yang bisa dinaekin, Say?” kata Eed masih sabar.
“Hehe, iya juga ya... Ya map...” kataku sambil memeletkan lidah padanya. “Udah atuh mana janjimu?”
Eed mengangguk pelan. Kemudian membuka jaketnya, kemudian membuka kancing kemejanya. Apa dia mau nari striptis? Tentu saja bukan, karena ketika sinar matahari menerpa lengan dan dadanya, warna kulitnya menjadi belang-belang hitam-putih. Pantas saja Eed tidak mau terkena sinar matahari.
“Nah, sekarang kau sadar kan mengapa aku menghindari tempat yang sering disorot sinar matahari?”
Aku mengangguk, lalu menjawab, “Iya. Tentu kau tak ingin disebut oleh orang-orang sebagai pria berhidung belang.. Tapi aku yakin kau bukan pria seperti itu!”
“Hahaha... Bela... Bela... Aku ini nyamuk Aedes, ingat? Dan nyamuk itu memang belang-belang hitam-putih kalau kau lupa. Tapi terima kasih sudah membelaku,” ucap Eed langsung mengecup dahiku. “Ah, maaf. Seharusnya tidak boleh begini. Aku tidak boleh mencintaimu...”
“Kenapa? Apa karena kau mengetahui kalau bulu ketiakku ini belum dicukur?”
Duh, bodoh! Kenapa aku bertanya hal sebodoh itu. Terang saja Eed langsung tertawa terbahak-bahak.
“Haha, kau ini lucu Bela! Tentu saja bukan karena itu, aku...” Eed diam sebentar, mencoba mingkem untuk membasahi giginya yang kering. “Aku takut, diriku tergoda untuk meminum darahmu. Euh, apalagi ketika kau menungging, rasanya ingin segera kusedot saja darahmu itu! Apa kau takut, Bela?”
“Harusnya sih aku takut, tapi tidak, aku malah bersyukur jika kau melakukan itu...” jawabku, dengan nada sedikit bergetar.
“Kenapa? Atau kau mau aku menyedot darahmu sekarang juga?”
Tiba-tiba, mulut Eed sudah berada di dekat leherku.
“Aku tak takut kau menghisap di bagian pantatku, karena memang aku sedang bisulan (mungkin karma karena sebelumnya aku menyinggung orang bisulan... hiks). Makanya kubilang aku akan bersyukur kalau kau menghisapnya!”
GUBRAK... Gosrak. Tuing... Jelegur!! Eed terjatuh saking kagetnya mendengar jawabanku. Aku langsung melongokkan kepalaku ke bawah untuk melihat bagaimana keadaannya. Kemudian aku bernafas lega saat mendengar suara tawa dari bawah semak-semak.
“HAHAHA... Ya ampun, Bela! Baru pertama kali ini aku menemukan wanita lucu sepertimu, tadinya aku ingin kau menjauhiku. Tapi setelah ini aku ingin agar kita selalu bersama deh!” ucap Eed yang ternyata sudah berada di sampingku lagi. Akupun tersenyum lega mendengarnya. “Kau mau jadi kekasihku kan, Bel?”
Wajahku memerah lagi. Mungkin kalau disandingkan dengan golek si Cepot bakalan bisa menyaingi warna mukanya. Eh, tapi tadi aku langsung dapat email dari si Cepot, katanya dia ga mau mukanya disama-samain dengan mukaku. Bisa ngerusak imej katanya. Emang mukaku seancur itu apa? (backsound: Emang!)
“Tentu saja, Eed... Aku mau,” kataku malu-malu.
Eed langsung tersenyum ke arahku. Mencium dahiku lagi (kali ini meninggalkan bekas berbentuk gigi), kemudian memelukku.
“Ok, kalau begitu, kita kembali ke sekolah yuk...” ajak Eed.
Hup. Aku menaiki punggung Eed lagi. Senang karena semua misteri terungkap. Senang karena Eed menembakku. Dan tentunya senang karena aku bisa bepergian dengan Eed terus. Tanganku memeluk Eed lebih erat. Bahkan kalau boleh, aku tak ingin melepasnya barang sedetikpun. Pokoknya, Eed, ai lap yu so mat!
―――
Beta-note: Arrrgghh... Kau merusak Imej Edward Cullenku yang sempurna, TIDAAAAAAKKK...!! *lempar puluhan shuriken ke arah author nista dengan mata berapi-api*
NB : Thanks yah buat Lily Suan yang rela jadi beta readernya.
*kaboer dari fans tualait*