Tuesday, February 12, 2019

Cerpen: Tanggung

Genre: Komedi, Dewasa

Tanggung

Suara gemerisik kakiku terdengar saat aku melewati rumput di sebuah lapangan dalam perjalanan pulang setelah aku mencari makan. Yeah, perutku sangat kenyang sekali sekarang. Lumayan lah, tadi aku sudah dikasih makan gratis oleh seseorang yang ada di restoran itu. Meskipun akhirnya aku harus rela beberapa bagian tubuhku dipegang dan dielus-elus olehnya. Segampang dan semurahan itukah diriku, hanya demi makanan gratis? Ah, lagian baru digerayangi seperti itu sih, belum termasuk jual diri kan? Lagipula aku juga menikmati sensasi sentuhannya. Hmm, semoga saja aku bisa bertemu dengannya di lain waktu saat aku datang lagi ke tempat itu.

Ngomong-ngomong soal perut kenyang, tiba-tiba aku pun jadi teringat dengan nasib anak-anakku, si kembar tiga. Apa mereka sudah makan juga ya? Maafkan ibu kalian ini, karena telah menelantarkan kalian begitu saja. Bukannya aku tidak sayang kepada kalian, untuk mengurus diri sendiri saja susah begini, apalagi harus ketambahan mengurus kalian. Tapi aku yakin kalian baik-baik saja sekarang, karena aku membuang kalian di depan rumah besar itu. Aku tahu penghuni rumah itu hanya tinggal sendiri, jadi pasti dia akan menerima kalian dengan baik.

Euh, tiba-tiba saja aku berjalan sempoyongan, mataku pun tiba-tiba gelap, dan kepalaku juga terasa pusing. Seperti yang kuduga, memori soal tragedi pemerkosaan di malam itu bangkit lagi. Beginilah, setiap kali aku teringat dengan anak-anakku, aku juga akan ingat tragedi itu. Masalahnya ayah mereka-yang entah siapa- itulah pelaku pemerkosaku. Dan setiap kali aku mencoba mengingat rupanya, pasti badanku tiba-tiba lemah seperti ini. Karena otakku sepertinya jadi berpikir keras untuk membangkitkan memorinya. Tapi sayang, saat itu sangat gelap, sehingga yang kuingat darinya hanya bau tubuhnya dan betapa beringasnya dia saat menyetubuhiku (harus kuakui, aku sedikit menikmatinya).

Ish, sudah ah. Ngapain juga kubangkitkan lagi ingatan itu. Mendingan sekarang aku harus segera kembali ke peraduanku sebelum gelap tiba. Entah ini hanya perasaanku saja, tapi kenapa aku merasa suasana perkampungan terasa sangat sepi ya saat ini, padahal matahari sore masih belum terbenam.

Suasana dingin tiba-tiba hinggap di tubuhku, aku pun langsung mempercepat langkahku. Degup jantungku terasa makin berpacu. Ada apa ini? Feeling-ku mulai berasa tak enak dan mendeteksi akan ada bahaya. Semoga sih tidak ada kejadian apa-apa, tapi tahu sendiri kan, feeling wanita biasanya selalu benar.

Sresek.. Sresek.. 

Telingaku menangkap suara dari arah belakang. Apa ada yang mengikutiku? Kutengokkan kepalaku ke arah suara itu, tidak ada siapa-siapa. Ya sudahlah jalan lagi saja. Eh tapi, siapa itu yang ada di depan?

“Mau kemana sih, buru-buru amat?” ucap cowok yang mencegatku.

“Minggir! Mau apa kau?” bentakku, mencoba memberanikan diri.

Namun bukannya takut, dia malah mendekat dan berkata, “Sudah lupa?”

DEG. Bau tubuh ini! Di-dia, jangan-jangan...

Aku pun langsung menghindar ketika dia mulai ada gelagat akan menyergapku. Setelah itu aku berlari sekuat tenaga melewati perkebunan hingga akhirnya aku sampai di pemukiman padat.

“TOLOONG!” teriakku, tapi sepertinya tak ada yang datang. “Tolong, ada yang mau memerkosaku!! To..”

Teriakanku tiba-tiba terpotong. Ternyata dia berhasil menangkapku. “Hey, jadi kau masih ingat ya? Terus kenapa mesti teriak minta tolong? Perasaan waktu itu kau diam saja, pasti genjotanku nikmat kan? Ga ketagihan?”

Uh, dasar pejantan mesum, pikirku. Kukerahkan tenaga terakhirku untuk bisa lepas dari cengkramannya, dan berhasil. Aku kembali berlari, melewati gang-gang sempit yang ada. Mudah-mudahan dia kesasar dan tidak menemukanku.

Ups, aku salah. Ternyata malah aku yang kesasar. Aku terjebak di gang buntu yang diapit oleh dua rumah kecil. Saat aku berbalik, ternyata dia sudah ada di mulut gang. Wajahnya menyeringai, sepertinya tahu kalau mangsanya sudah tak berdaya.

Dia pun langsung menerkamku dengan sekuat tenaga. Aku terjatuh. Setelah itu tubuhku diposisikan tengkurap olehnya, lalu dia cengkeram bagian pundakku, agar aku tidak memberontak. Tapi bagaimana bisa melawan, gerak sedikit saja, cakarnya terasa menggoresku, saking kuat tenaga genggamannya. Kemudian dia singkap apapun yang menghalangi lubang miss v-ku. Dan akhirnya dia tusukkan kemaluannya dari belakang. Kurasakan penisnya yang kecil namun keras itu masuk ke   dalam tubuhku.

“Oh.. Ah..” napasku mulai menderu. “To.. long.. Hen.. tikan!” Kata-kataku terpotong di setiap genjotannya.

Tapi dia tak peduli, bahkan dia malah jadi lebih beringas. “Yakin? Paling awalnya saja kau berontak, setelah itu pasti kau menikmati, seperti waktu dulu..”

“Ah.. Oh.. Pelan-pelan... Dong! Ah.. Enak..”

“Tuh kan. Haha! Sudah jangan berisik, nanti ada yang dengar!”

“Abisan.. Enak.. Mas.. Ouh..”

Kurasakan gerakan maju mundurnya semakin cepat. Tubuhku pun jadi menggelinjang dibuatnya. Merasakan tubuhku bergerak, dia pun menggigit leherku dengan manja, agar aku kembali diam. Hmm, gigitannya bikin geli tapi nikmat..

“Ah... Ah.. Ah...” Kali ini napasnya yang menderu, sepertinya dia akan orgasme.

Tapi sebelum dia keluarkan cairan kehidupannya, tiba-tiba saja dari dalam rumah di sebelah gang, ada air menyembur keluar dari jendelanya. Kami yang masih dalam posisi indehoy tak bisa menghindar, sehingga  tubuh kami pun jadi kebasahan. 

“WOY, KUCING-KUCING SIALAN.. KALO KAWIN JANGAN SEBELAH RUMAH GUE! SANA GIH DI KEBON, BERISIK AJE! UDAH SANE MINGGAT, GUE SEBLOK AIR LAGI NIH!”

Huft, dasar manusia bedebah! Mengganggu kenikmatan kami saja. Akhirnya terpaksa kami sudahi perkimpoian ini. Padahal kan lagi tanggung! Dengan perasaan kesal, aku pun melenggang keluar dari gang itu, meninggalkan si pejantan  yang sepertinya masih syok dan pusing karena si dedeknya tidak jadi muntah. Yang penting sekarang aku sudah tahu penampakannya, ternyata dia memang mirip anakku, yang kebanyakan berwarna belang putih dan kuning. Lain kali kita lakukan sampai selesai ya, mas!

Tamat

NB: Semoga ga pada illfeel ya pas tahu siapa sebenernya si sudut pandang pertama. Peace ah! Hehe..

855 kata