Saturday, November 11, 2023

Review Buku: Rana Renjana


 Sinopsis:

Buku yang memiliki cover yang menampilkan seorang perempuan berselendang putih di tengah-tengah ini menceritakan tentang sebuah desa di barat Kota Yogyakarta yang sedang mengalami pagebluk. Yang mengakibatkan turunnya sebuah kabut merah setiap senja tiba dari Pegunungan Menoreh. Celakanya, kabut itu ternyata membawa wabah yang menginfeksi anak-anak dengan penyakit yang aneh. Untuk mengatasi hal tersebut pertunjukan Tari Lengger Slingo pun harus segera digelar supaya bisa membersihkan desa dari serangan wabah tersebut.

Namun, hanya penari terpilihlah yang dapat menarikan ritual yang terdiri dari seorang perempuan yang akan menjadi sang ledek dan seorang pria sebagai pengibingnya itu. Ranaya sudah jelas akan menjadi sang ledek, sedangkan untuk posisi pengibing, sesepuh desa masih bimbang memilih antara Rama dan Jana yang sialnya sudah sedari kecil tidak akur dan sedang dibutakan cinta. Sehingga mereka pun bersaing mati-matian untuk mendapatkan peran itu, sekaligus bersaing untuk mendapatkan cinta Ranaya yang merupakan cinta pertama mereka.

Bagaimanakah kelanjutan kisah dari kisah cinta mereka? Serta bagaimanakah nasib dari Desa Slingo nantinya? Apakah desa tersebut akan selamat dari serangan pagebluk?

Review:

Membaca buku yang memiliki jumlah sekitar 200 halaman ini sungguh membuat bibir menyunggingkan senyum. Karena buku karangan dari Fika Artha atau yang lebih dikenal dengan nama Piko tersebut berhasil membawakan perpaduan dari kisah persahabatan, romantis, misteri, fantasi, serta budaya dengan bagus. Sang menulis menyajikan ceritanya dengan begitu meyakinkan, sehingga berhasil membuat pembaca –khususnya saya- merasa terhubung dengan karakter-karakter yang ada di dalamnya. Goresan tangannya itu pun sukses membuat kita peduli dengan apa yang terjadi pada para tokoh fiktif yang ada dalam pengisahan novel dengan judul ‘Rana Renjana’ tersebut. Sepertinya, latar belakang penulis yang memang berasal dari Yogyakarta juga membantu membuat tulisan dari kisah ini menjadi begitu luwes. Karena penjabaran latar atau setting dari kota Yogyakarta dapat tergambarkan dengan baik.

Untuk bagian konflik cerita, meski dalam pengisahannya ada beberapa sub plot atau percabangan, semuanya tetap terhubung satu sama lain sehingga mendukung plot utama yang memang terfokus pada Desa Slingo dan pagebluknya. Sayangnya, meski klimaksnya tetap dikemas dengan apik, namun sang penulis terlihat seperti terburu-buru dalam menyelesaikan konfliknya. Sehingga semua permasalahan dan penyelesaian berkumpul menjadi satu pada paruh akhir novel tersebut. Tapi secara keseluruhan, cerita yang kuat dengan unsur kebudayaan ini tetap patut untuk diacungi jempol. Maka tak heran jika akhirnya novel ‘Rana Renjana’ ini berhasil menyabet gelar juara 2 dari kompetisi Cerita Khatulistiwa 2022.

Jadi, apakah buku yang diterbitkan oleh Penerbit Buku Kompas ini layak untuk dikoleksi? Yes, tentu saja! Apalagi buat kalian yang memang suka dengan kisah mistis dibalut romantis dengan segala kisah budaya kental di dalamnya.

NB: Buku ‘Rana Renjana’ dapat dibeli offline di TB Gramedia atau online di Harian Kompas Official Shopee dan Tokopedia.

Monday, April 26, 2021

HP Spectre x360 14: Laptop Premium terbaru keluaran HP yang Maknyos

HP Spectre x360 14 (sumber: hp.com)

Sebagai pemerhati di dunia perlaptopan, melihat penampakan dari laptop premium terbaru keluaran HP membuat jiwa untuk memilikinya tuh meronta-ronta banget euy. Gimana enggak? Fitur-fitur serta spesifikasinya ini memang terlihat mumpuni dan cocok buat pekerjaan yang berat yang memiliki mobilitas tinggi. Kepo dengan fitur unggulannya? Yuk simak satu per satu di bawah ini.

Spesifikasi HP Spectre x360 14

Disain

Mengusung layar dengan diagonal 14 inci, HP Spectre x360 ini menggunakan rasio aspek 3:2 yang garis vertikalnya lebih panjang dua puluh persen dibanding dengan layar berasio 16:9. Makanya tampilannya terasa berbeda dibanding laptop lainnya. Belum lagi, kemampuan dari engsel layar yang bisa dilipat ke belakang, hingga tampilannya menyerupai tablet, menjadi salah satu keunggulan lain laptop ini dari sisi disain. Buat yang suka dengan laptop yang berdisain tipis, pastinya bakalan suka dengan HP Spectre ini juga, karena ketebalannya cuma sebesar 1,7 cm aja lho. Saking tipisnya, berat laptop ini juga hanya sekitar 1,36 kg saja. Mantap kan?

Oh iya, layar laptop ini juga ternyata sudah bisa touchscreen lho! Makanya dari paketan pembelian sudah disertai stylus pen buat memudahkan penggunaannya. Hebatnya lagi, layar yang berjenis OLED ini juga memiliki anti gores Gorilla Glass. Sehingga kita tak perlu mempertanyakan ketahanannya.

Sistem

Dengan kisaran harga sekitar 26 juta rupiah, sudah selayaknya laptop ini dibekali dengan prosesor yang mumpuni. Makanya gak perlu heran kalau si HP Spectre x360 ini punya prosesor Intel Core i7 generasi ke-11. So pasti, performanya bakal lebih maknyos dibanding HP Spectre keluaran sebelumnya. Apalagi laptopnya ketambahan ram DDR4 sebesar 16 GB dan kartu grafis Intel Iris Xe, dahlah sayonara buat ngelag-ngelag mania. Plusnya pula memori penyimpanan laptop ini udah dibekali SSD dengan kapasitas 2 TB. Jadi, gak usah dipertanyakan lagi deh kalau soal masalah performanya. Dijamin lancar jaya pokoknya.

Konektivitas dan Daya

Seperti kebanyakan laptop lainnya, HP Spectre x360 memiliki koneksi WiFi versi 6 dan Bluetooth versi 5.0. Tapi yang membedakan, laptop ini sudah memiliki port Thunderbolt 4, yang membuat transfer data makin cepat. Untuk kapasitas baterainya sendiri, laptop ini diklaim bisa bertahan sampai 17 jam lho. Dan pasti dibantu dengan fitur Power Saver sama Adaptive Battery Optimizer. Beuh, makin nyaman buat dipake gawe dong ya. Kekurangan sedikit dari segi konektivitas laptop ini mungkin dengan ditiadakannya port HDMI di bodi laptopnya. 

Kesimpulan

Ada harga ada rupa. Yeah, dengan harga di kisaran 20 jutaan, segala fitur dan keunggulan bisa kita dapatkan di laptop premium terbaru keluaran HP ini. HP Spectre x360 ini sangat cocok digunakan bagi mereka yang membutuhkan performa yang mumpuni dan menginginkan desain yang kekinian serta aman. Recommended? Jelas.

Yuk ah, nabung, yuk. Supaya lebaran nanti bisa kebeli.

Jika Kalian Punya Laptop ini?

Wah, jujur sih, sebagai pembuat konten youtube pemula, seringnya saya hanya mengedit video melalui handphone saja. Karena komputer di rumah spec-nya kentang sekali. Makanya kalau saya punya HP Spectre x360 ini, tentunya bakal dimaksimalkan untuk editing video. Pastinya tidak akan takut ngerasa berat lagi ketika mengerjakannya. Hasilnya pun dijamin lebih memuaskan. Bosan dipakai kerja terus-terusan? Sesekali bolehlah maen game yang HD juga di laptop ini. Ah, gak terbayang grafisnya yang halus dan main game bebas lag. Dijamin puas dah ya. Hehe

 

#PowerYourDream

Wednesday, November 11, 2020

Review Film: Rendang of Death

 

Vidsee X NAD Review Film: Rendang of Death

Ketika Rendang Jadi Rebutan

Rendang of Death

 

Siapa sih yang tak kenal dengan makanan khas Padang bernama rendang ini? Bumbunya yang kental dan pedas ini tak jarang menjadi incaran semua orang tatkala pergi ke restoran Padang. Sepertinya hal itu pulalah yang menginspirasi sineas film yang digawangi oleh Muhammad Andri Abdi untuk membuat film bertajuk Rendang of Death.

 

Film ini sendiri menceritakan tentang sebuah restoran Padang yang sedang ramai oleh para pengunjung di istirahat jam makan siang. Hingga akhirnya ada seseorang yang memesan rendang yang ternyata merupakan porsi terakhir dan satu-satunya kala itu. Dari sinilah mulai terjadi keributan di antara para pelanggan restoran untuk memperebutkan rendang tersebut. Sampai segala cara dilakukan baik dengan tangan kosong atau dengan senjata, bahkan sampai menggunakan hal klenik.

 

Jujur, menyaksikan Rendang of Death ini tuh benar-benar membuat mix-feeling banget. Di satu sisi, kita terhibur dengan menyaksikan keributan yang ditampilkan di layar. Sedangkan di sisi lain, kita juga dibuat miris dengan kelakuan orang-orang yang bisa barbar dan menghalalkan segala cara hanya untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkannya. Untungnya, film ini dibuat dengan animasi 2D dan dibuat selebay, sekocak, dan sekomikal mungkin, sehingga kita masih dapat tertawa lepas melihat kelakuan dari karakter-karakter yang ada.

 

Bicara soal teknologi animasi 2D yang dipakai film ini sudah lumayan oke lho! Meskipun masih sedikit kaku, tetapi segala kesadisan dan aksi yang ada cukup membuat kita berdecak kagum. Belum lagi gerakan mulut yang sudah sama dengan apa yang diucapkan oleh dubber-nya. Sudah mantap gitu lho.

 

Salah satu kekurangan film ini mungkin dari durasi yang terlalu singkat, dan ada sebuah petuah yang terlalu tekstual. Mungkin jika pesannya dibuat tersirat, bisa jadi lebih makjleb.

 

Yah, secara keseluruhan film ini begitu menghibur dan dapat menghadirkan komedi satir dari kelakuan orang-orang di kehidupan nyata. Eit, tetapi hati-hati lho, film ini juga mempunyai efek samping yang tak bisa kita remehkan, yaitu dapat membuat kita yang menonton jadi ingin memakan rendang juga. Hehe.

 

Skor: 3,5 dari 5 bintang

NB: Film pendek ini dapat ditonton di website Viddsee. Untuk yang tidak kuat dengan konten sadis, lebih baik hindari film ini. ;-)

Tuesday, November 10, 2020

Cerpen: Kisah Meli dan Hujan

 Kisah Meli dan Hujan

 

Hai, Gaes. Kenalin, nama gua Meli, umur 30 tahun asal Bogor. Kata orang sih gua orangnya imut alias rada bantet kayak kue bikinan emak gua, biarpun gitu kata mereka juga gua tuh pede dan gak baperan plus ngocol pula. Makanya gak usah heran kalau misalkan setiap gua kemana-mana, banyak temen yang selalu ngerubungin kayak lalat. Saking pengennya mereka denger cerita ngocol gua. Yeah, sepopuler itulah gua di mata mereka ... TAPI, BOONG!

Oh iya, Gaes. Di tempat kalian udah masuk musim hujan belum  sih? Soalnya di Bogor mah udah hujan melulu euy. Sampe-sampe setiap hari tuh gua kudu nyiapin baju sama sempak cadangan, persiapan kalau-kalau baju atau celana kebasahan. Eh, tapi kok gua baru sadar, harusnya yang gua siapin tuh payung atuh ya?

”Meli, Meli, pantesan aja lo gak pernah kepilih di audisi Putri Indonesia. Telmi sih!” celoteh gua sambil menoyor kepala sendiri.

Eit, tunggu dulu. Gua punya pembelaan kenapa gua gak pernah bawa payung dan gak pernah kepilih buat mewakili Jawa Barat di Putri Indonesia. Satu, gua gak pernah bawa payung karena gua tuh ngarep pas lagi keujanan tiba-tiba ada cowok ganteng gitu yang nyamperin terus mayungin gua. Gak muluk-muluk, kayak Nicholas Saputra aja lah cowoknya. Tenang, gak akan gua tolak kok kalau kejadian. Dua, alesan gua gak pernah masuk di audisi Putri Indonesia? Simpel. Karena gua gak daftar aja sih. Kalau daftar mah, kelar idup lo wahai peserta lain. Hahaha.

Balik ke topik ah. Ngemeng-ngemeng soal hujan ini, gua memang punya banyak kejadian yang mau gua ceritain nih sama kalian. Tapi kalian tuh mau nyimak gak ya? Hmm, mau aja deh ya. Lagian kepalang juga, soalnya dari awal pun kalian udah kepaksa nyimak kasak-kusuk gak jelas gua. Hehe. Ya udah atuh, yuk kita kemon. Markisim, mari kita simak!

-=-=-=-=-

Pada zaman dahulu kala, sepulang ngantor di pusat kota Bogor, hujan tiba-tiba turun tanpa diundang. Gua yang gak ada persiapan ngadepin ujan ini cuma bisa cengo di depan halaman kantor sambil sesekali ngupil biar ngilangin kegabutan saat itu.

Lagian heran juga. Kok gak ada temen gua yang keluar kantor juga. Apa mereka semua pada lembur? Atau nunggu di dalem sambil duduk di sofa yang empuk, terus nonton sinetron Azab. Euh, nikmat kayaknya. Apa gua mesti ke dalem juga ya? Ah, enggak deh. Males juga, nanti si bos malah nagih kerjaan gua yang belum kelar. Tapi, kan, kalau di luar gini juga bete. Mana dari halaman kantor ke halte tempat gua nyetop angkot itu jauhnya sekitar sepuluh meteran. Berabe banget kalau putri cantik kayak gua gini harus lari-lari ke sana sambil basah-basahan. Nanti dikira yang liat ada kudanil lewat yang kegirangan karena baru nemu air lagi. Mentang-mentang bodi gua rada melebar ke samping sedikit. Huhu!

Untunglah. Di tengah kekalutan gua yang mengada-ada tadi. Ada sesosok makhluk bernama ojek payung yang lewat di depan kantor. Tanpa ragu, gua langsung teriak, “Abang ketopraaak! Baaang!”

Eh, kok malah jadi manggil tukang ketoprak? Maaf. Efek laper. Gua ulangi lagi deh manggilnya, “Bang ojek, marilah kemari, Bang!”

Pemuda yang bawa payung itu pun langsung berhenti terus keliatan kayak bergidik sebentar.

“Bang ojek, woy! Gua yang manggil. Tenang aja, gua bukan memedi!” Mentang-mentang suasana mulai rada gelap karena mau maghrib kali ya. Sampe-sampe dia nyangka kalau yang manggil dia itu makhluk halus.

Setelah yakin bahwa yang manggil itu bukan jadi-jadian, pemuda itu langsung balik arah. Mukanya yang item memerah, kayak warna kaos yang dia pake. Sepertinya dia ngerasa bersalah udah nganggep gua yang aneh-aneh.

“Maaf ya, Teh,” ucapnya tulus. “Teteh, mau ngojek?”

“Ya iya atuh. Terus motornya mana?”

“Ih, si teteh mah. Saya kan ojek payung, bukan ojek motor.”

“Iya, canda,” ucap gua sambil ngikik puas karena udah sukses godain balik. “Kalau ke situ berapa tarifnya?”

“Kemana, Teh? Ke halte doang? Dua rebu aja deh.”

“Gak kemurahan itu teh?” Gua malah sok jual mahal.

“Ya udah, goceng atuh,” Dia langsung ngeralat.

“Enggak ah, di kantong cuma ada dua rebu!” balas gua lagi, disambut bibir manyunnya. “Tenang, entar dilebihin kalau kamu bawa barang bawaan teteh.”

“Mana, Teh, barangnya?”

“Nih, di perut. Kalau perlu, abis dibawa, dibuang aja tuh lemaknya. Haha.”

“Ih, si teteh mah becanda wae.”

“Iya, maaf.” Gua mulai merasa gak enak abis becandain anak orang. “Sini payungnya kalau gitu.”

“Ini teh,” ucapnya, sambil ngasih payung di tangannya. Habis serah terima payung, dia berdiri di samping, hujan-hujanan.

“Kamu teh tiap ujan selalu ngojek?” tanya gua kepo, sambil mulai jalan kaki.

“Iya, Teh. Lumayan uangnya buat tambahan.”

“Tambahan bayaran sekolah?”

“Bukan. Buat ke warnet!”

“Euh, tadinya teteh mau ngasih bonus kalau denger cerita sedih. Gak jadi ah!”

Ngedenger kata bonus, kayaknya otaknya mulai jalan dan mikir cerita apa yang kudu diumbar. Sampai akhirnya mulutnya mulai kebuka, “Jadi gini teh, sebenernya saya tuh ngojek payung karena disuruh ....”

“Sama orang tua? Gara-gara gak mampu?”

“Bukan, Teh. Disuruh sama pacar. Katanya buat tabungan masa depan. Sedih kan, Teh? Saya kudu ngorbanin usia remaja buat cari nafkah. Hiks.”

“Auk, ah!” jawab gua, keki. Bukannya cerita sedih, malah nyebelin. Eh, tapi kocak juga sih. Pacaran anak zaman now emang kayak gitu ya? Hadeuh.

Gua langsung senyam-senyum gaje deh.

“OK, Teh. Udah sampe halte nih,” ujarnya, ngagetin gua yang masih gak abis pikir bayangin cerita tadi.

“Wah, gak kerasa ya udah nyampe lagi,” kata gua, terus langsung ngeluarin uang dari dompet. “Ya udah, nih gua kasih si merah karena cerita mengharukan nan menguras air mata yang kamu ceritain tadi. Makasih ya!


“Siap, makasih, Teh! Makasih banyak! Woaah, Ayank Irna pasti seneng nih, bebebnya dapet uang gede.”

“Ish, lebay!” rutuk gua.

Dan, usai sudah segala drama gua dengan babang ojek tadi di hujan sore hari ini. Gak nunggu lama, gua pun langsung nyetop angkot yang biasa gua naikin. Kemudian cek lagi isi dompet buat nyiapin ongkos angkotnya. And you know what? Tiba-tiba soundtrack dari sinetron Azab pun terdengar begitu gua sadar kalau duit yang gw kasih ke ojek tadi ternyata bukan sepuluh ribu, tapi seratus ribu. Haduh, kok bisa salah sih ya? Mana si merah Soekarno-Hatta itu tinggal selembar-lembarnya dan gajian masih seminggu lagi. Huaa, kumenangiiiis ...

Babang Ojeeek, plis, balikin duit gua!

-=-=-=-=-

Bukannya kapok sama kejadian kemarin, hari ini gua berangkat kerja tanpa bawa payung lagi dong. Hebat kan? Lagian menurut feeling gua nih, hari ini bakalan cerah gulita seperti hati gua yang lagi berbunga-bunga. Kok bisa? Ya bisa lah, soalnya setelah insiden kemarin gua ceritain ke temen-temen, mereka sepakat buat buka donasi #KoinUntukMeli di website We-We-eF. Hebatnya lagi, baru 2 jam dibuka, udah kekumpul maratus rebu, dan langsung distop juga deh, karena memang targetnya segitu. People +62 emang juarak kalau soal ginian ya?

Eh, tapi gua rada curiga sih sama webnya. Kata temen-temen sih, web itu emang buat ngumpulin bantuan buat orang kesusahan kayak gua. Cuman kok kayak ada yang gak beres ya? Kayak ada udang  balik bakwan gitu lah. Coba deh, gua cek link yang dishare temen gua.

BAJIGUR! Bener kan dugaan gua. Web itu tuh ternyata dipake buat minta sumbangan buat kelangsungan flora dan fauna. Lha, terus di deskripsi bantuan mereka nulis apa tentang gua? Omaigot, mereka nulis tentang dugong bernama Meli yang gak sengaja ketangkap warga dong! Dan uang yang dikumpulin itu katanya buat biaya sewa kapal buat balikin dia ke tengah laut. Sungguh teganya. Jadi mereka mau buang gua ke laut gitu? Hiks. Kumenangis dulu ah. Menangis bahagia karena duit maratus rebunya udah cair.

-=-=-=-=-=-

Jam 5 sore. Waktunya pulang. Dan seperti biasa, waktunya hujan lagi dong! Feeling gua salah deh. Emang ya, kota Bogor tuh, gak ujan, gak Bogor gitu lho. Eit, tapi gak kayak kemarin dong. Sekarang mah gua diem dulu di dalem, sambil sesekali ngintip di luar. Barangkali kan ada babang ojek yang kemarin. Jadi bisa gua tagih lagi uangnya, eh, maksudnya jadi bisa nyewa lagi.

Nah, nah, dia beneran lewat lagi tuh. Ya udah, gua buru-buru keluar buat manggil dia lagi deh. “Uhuuy, bang ojeeek! Marilah kemari!”

Suara auman gua itu ternyata lumayan kenceng juga ya. Soalnya sehabis itu, ada kali selusin kang ojek payung yang lari nyamperin, bukan cuma yang kemarin doang. Semua keliatan rebutan mau ngasih payung ke gua.

“Hey, gua dulu. Gua langganan dia!” kata ojek yang kemarin.

“Enak aja lo. Gua kan yang dateng duluan.” Si bocil, ojek yang masih SD ikutan ngegas.

“Yee, payung gua lebih gede. Mau apa hayo?” sahut yang lainnya.

“Awas, minggir lo pada, giliran gua dong ah sekarang!” seru yang lainnya juga.

Dan terus deh tuh ribut-ribut kejadian di depan gua. Jadi berasa princess beneran kalau diperebutin begini. Ahay. Eh, tapi demi keamanan, gua gak akan milih siapa-siapa ah. Mending melipir dulu aja ke deket pos satpam.

“Abang ojeeek!” teriak gua lagi, langsung disambut tatapan tajam para ojek payung. “Ojek motooor! Marilah kemari!”

Ngeliat gua yang ternyata manggil ojek motor. Semua keributan pun langsung berhenti. Mukanya keliatan pada kesel, berasa di-PHP gitu kayaknya. Atuh lah ya, lain kali mah pake nomor antri aja kalau mau jemput gua. Hihi.

BRROOOM. BROOOM.

“Neng manggil ojek?” Kang Ojek motor yang gua panggil udah di depan pos satpam rupanya.

“Iya, Pak. Tapi ada jas hujannya kan, Pak?”

“Aman. Mau kemana emang, Neng?”

“Ke Kebon Jati, berapa ya?”

“Dua puluh rebu lah neng ke situ mah.”

“Hmm, dua puluh lima lah. Berangkat nih.”

Si bapak keliatan mikir. Mungkin dia lagi keheranan, kok nawar malah nambah gede uangnya?

“Ya udahlah, Neng. Berangkaaat!” Si bapak yang baru nyadar langsung keliatan seneng, terus ngebuka bagasi motornya. “Ini jas hujannya ya, Neng.”

“Makasih, Pak. Saya pake dulu ya.”

Gua terima jas hujan yang terdiri dari atasan sama celananya itu. Hup. Hup. Gua pake atasannya dulu. Gak masalah. Meskipun terasa rada sempit di bagian ... you-know-lha. Terus lanjut pake yang celana. Masukin kaki kanan. Done. Masukin kaki kiri. Done. Langsung tarik celana ke atas ping‒

Eh, kok nyangkut? Huaa, gak bisa naik ke pinggang dong. Kok sedih ya? Mau minta tolong ke si bapak juga malu. Mau minta tolong ke pak satpam apalagi. Dia malah keliatan lagi ketawa-ketiwi tuh dari tadi liatin gua yang kesusahan pake jas hujan. Pak satpam gak ada akhlak. Auto nyanyi lagu sinetron azab lagi deh. Kumenangiiis. Huhu!

“Udah, Neng?” tanya si bapak udah gak sabar pengen cao.

“Udah, Pak,” balas gua pasrah, terus ngebalikin celana dari jas hujannya, “Tapi, saya pake atasannya aja ya, Pak.”

“Oke, kalau begitu. Yuk, naik.”

“Iya, Pak!”

Gak berapa lama gua naik, si bapak tukang ojek langsung ngegas motornya tanpa ba-bi-bu. Sedangkan gua? Mulai merasa semriwing, ketika tetesan air mulai merembes ke bagian pusat bumi. Gini amat yak?

Apa salah gua sama hujan? Kayaknya mulai besok gua harus nyari nomor telepon Dewa Zeus nih, supaya bisa kongkalingkong soal hujan. Jadinya gak akan ada kejadian aneh-aneh lagi yang gua alamin. Atau kalian ada yang punya whatsapp-nya? Sini bagi ke gua, pliiis!

 

Selesai

Wednesday, August 12, 2020

Curug Cidurian, Curug tersembunyi di Pelosok Bogor


Kata siapa Curug di Bogor udah habis? Nih, buktinya. Masih ada Curug yang bisa dieksplor buat kalian pecinta curug atau buat kalian yang sekadar ingin melepas penat. Yep, salah satunya adalah Curug Cidurian ini.

Karena curugnya masih baru banget dikelola dan dibuka untuk umum, pastinya masih sangat alami, bersih, dan nyegerin lho, gaes! Dan pastinya masih sepi juga.

Tapi, karena letaknya yang jauh banget di pelosok Bogor, siapin aja kendaraan yang masih kuat lewatin tanjakan turunan nan ekstrim dan siapin pantat kalian juga. Soalnya dari Bogor kota sampai sana tuh kurang lebih ngehabisin waktu sekitar 2-3 jam.

Cuman tenang aja, semua pengorbanan kalian pasti kebayar begitu melihat penampakan si Curug udah di depan mata. Belum lagi pas badan kalian nyelup ke airnya yang super bening dan dingin itu, dijamin nyegerin puool deh!

Jadi ga usah ragu lagi deh buat nyamperin curugnya. Cabskuy, gaes! 

Curug Cidurian Bogor

Saturday, August 8, 2020

Curug Pilung Pelangi Cidahu



Another trip bersama komunitas Track Kaskus Bogor. Seru banget lah. Curugnya juga masih alami dan nyegerin banget.

Terus karena baru dibuka, harga tiket masuknya saat itu cuma tiga ribu perak doang. Udah gitu, bebas pungli pula. Kagak bikin nyesek di masa pandemi gini pokoknya.

Treking ke Curug nya juga gak begitu jauh kok, paling sekitar 15-30 menitan, tergantung bawa rombongan siapa. Heuheu..

Terus tenang aja buat yang kelupaan bawa bekel, di sekitar Curug udah banyak saung plus bale-bale yang jualan makanan kayak mie instan atau gorengan.

Pokoknya recommended lah curugnya buat sekedar maen-maen air doang mah. 👍👍

Thursday, June 11, 2020

Woles Ngaprak Curug Cikaracak



Mumpung masih suasana liburan, posting video pas ke Curug Cikaracak ah. Buat yang belum tau, lokasi Curug Cikaracak ini cuma berjarak sekitar sejam perjalanan dari pusat kota Bogor lho.

Enaknya lagi, akses jalan menuju TKP udah bagus beut. Jalur trekkingnya juga ajib dan rada menantang. Ngelewatin sawah, kebun, hutan, sungai hingga akhirnya sampai di curugnya.

Penasaran? Mendingan samperin aja langsung. Soalnya hari Senin harga naik! *Lha?*

Thursday, January 30, 2020

Pengalaman Pertama Naik Gunung Guntur

Puncak Gunung Guntur


Pengalaman Pertama Naik Gunung Guntur

Hola, Amigos! Gimana kabar kalian? Masih baik-baik aja, kan? Mudah-mudahan ya. Di postingan kali ini gw mau cerita soal first experience gw naek gunung nih. Eh, tapi jangan salah, sebenernya urusan naik gunung bukan pertama kali gw lakonin sih, cuma yang sebelumnya itu mungkin keitungnya gunung-gunungan alias bukit aja kali ya. Soalnya tingginya palingan sekitar 800an MDPL. Nanjaknya juga cuma sekitar 2 jam paling lama. Cih, gunung apaan kayak gitu. Haha.. *belagu*

Makanya pas temen ada yang ngajak untuk nanjak Gunung Guntur, gw enggak langsung mengiyakan. Apa pasal? Satu, ketinggian Gunung Guntur itu 2.249 MDPL. Dua, persiapan naik gunung yang harus rapi dan lengkap. Tiga, udah gak muda lagi euy, takut gak kuat (tumben ngaku).

Temen yang ngajak, sebut saja Mas Didi, mulai ngeyakinin gw dengan jelasin bahwa meskipun gunung ini termasuk lumayan tinggi, tapi treknya itu cocok untuk pemula. Nanjaknya pun kurang lebih hanya sekitar 4-6 jam aja. Jahatnya lagi, dia juga mulai ngasih racun-racun berupa foto dan video puncak Gunung Guntur. Gimana hamba gak tergoda? *lemah*.

FYI aja, buat yang belum tahu, Gunung Guntur ini adanya di Kecamatan Tarogong Kaler, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Makanya setelah mutusin buat fix ikut, gw nanya soal cara kita ke sana dong. Untungnya, temen sejawat Mas Didi, Pak Alam ikutan juga, jadi mobilnya bisa dipake deh. Mantapnya lagi, dia juga yang bakalan nyupirin. Uhuy!

Hari-H
24 Februari 2019

Rombongan Ngaprak. Ki-ke-ka (Mas Didi, Abay, Imin, Bangkit, Pak Alam, Erik, JM, Ijal)

Terhitung ada 8 peserta (Gw, Mas Didi, Imin, Pak Alam, Bangkit, JM, Erik, dan Ijal) yang ikut di perjalanan kali ini. Aslinya sih lebih, tapi kita sesuaiin ama kapasitas mobil, so, mau gak mau kita coret yang telat daftar. Oh iya, dari 8 peserta ini yang punya pengalaman gunung beneran malah baru 2 orang lho. Yeah, selama masih ditemenin ama yang udah pernah dan dengan gear/peralatan yang lengkap sih, OK-OK aja.

Apa aja sih yang gw siapin buat naik gunung ini? Yang pasti nyiapin yang mau dipake dulu dong. Kaos, sepatu gunung, celana gunung, tas gunung, dan jaket gunung biar anget (belum punya yang bisa dipeluk soalnya. Hiks). Kalo peralatannya sih ada tenda, kompor portabel, nesting, ama tas gunung. Sebenernya peralatan gw ada yang kurang lengkap sih, kayak matras dan sarung tangan, padahal itu juga penting bingit. Tas gunung gw juga ternyata kapasitasnya kekecilan. Untungnya kita rombongan, jadi bisa saling bagi-bagi barang bawaan dan perbekalan. Fyuh.

Btw, berhubung kita mau nanjaknya pagi-pagi, jadi berangkatnya malem hari sebelumnya deh dari Bogor. Alhamdulillah, perjalanan aman terkendali tanpa kendala via jalan tol Jagorawi dan  tol Cipularang. Palingan macet dikit pas di sekitaran Bekasi karena ada pengerjaan fly over. Tanpa kerasa, kita pun sampe sekitar jam 3 pagi. Sempet nyasar dikit sebelum nyampe basecamp karena ada kondangan yang panggungnya nutupin jalan utama, alhasil bikin kita muter balik dan lewat jalan lain. Bikin gw ngebatin, kalo gw nikah, gak mau nyusahin orang banyak pokoknya! Ish, ish, ish.

Sesampenya di basecamp, kita istirahat lempengin kaki yang ketekuk di mobil selama kurleb 4 jam. Tidur-tiduran bentar sampe Azan Subuh. Beres Solat, kita buat simaksi sebagai perizinan buat nanjak. And finally, Gunung Guntur, here we come! Saatnya naklukin si gunung yang pucuknya keliatan deket dari bawah.

Mulai Treking

Awal mula nanjak kita masih pada semangat dong. Apalagi udara juga masih seger, bebas polusi pula. Udah gitu lambat laun sang surya mulai nampakin diri, dari barisan gunung di seberang. Yeah, selain Gunung Guntur, Garut ini dikelilingin oleh Gunung Papandayan, Gunung Cikuray, dll yang gak kalah kerennya. Hmm, mudah-mudahan nanti bisa naik ke sana juga. Kalo buat sekarang mah fokus ke trek sini aja dulu.

Bener aja, gak pake lama trek mulai nunjukin kesadisannya. Tanjakan curam pun dimulai! Padahal ini baru mau ke pos 1. Apa bener ini cocok buat pemula? Kalo gw yang udah biasa trekking ke curug-curug sih biasa aja *sombong*, sedangkan buat JM yang bobotnya seberat beban hidupnya, ya rada ekstrim. Buat Ijal, makhluk termuda tapi perokok masif dan jarang olahraga juga jelas bukan sesuatu yang gampang. Makanya belum apa-apa udah pada ngos-ngosan dan dikit-dikit minta istirahat. Tapi ya namanya rombongan, mau gak mau kita pun ikutin tempo mereka.

Sebenernya, disebut cocok buat pemula tuh karena selama perjalanan itu kita disuguhin bonus pemandangan yang tak henti. Jadi kalo capek, ya tinggal istirahat bentar terus nengok belakang, tiba-tiba dapet power lagi deh. Udah gitu, sepanjang trek Gunung Guntur ini deket ama sumber air. Jadinya pan kalo aus tinggal minum langsung aja dari sumbernya. Bersih dan suegeer pokoknya. Jadi nyesel udah beli air mineral banyak-banyak, tau ada yang gratis kayak gini mending bawa botol kosong aja. Haha..

Sumber air sudekat!
Akhirnya setelah berjibaku dengan trek nan ekstrim selama kurang lebih tiga jam. Kita pun sampe di pos 3 yang berupa padang pasir terbuka dan menghadap langsung ke landscape kota Garut dengan gunung-gunung di sekelilingnya. Di sinilah tempat kita bakal diriin tenda dan bermalam nantinya.

Eit, tapi sebelum itu, kita sempet bingung lho, buat nyari lapak kosong buat gelar tenda. Penuh banget coy! Maklum, hari ini kan hari Minggu, jadinya rame pisan euy. Yakin sih, agak sorean mereka banyak yang udahan dan pulang, tapi sambil nunggu itu kita kepaksa buat diriin tenda di lahan yang berbatu dan miring. Dan gara-gara inilah, gw ngerasa matras itu emang penting. Sakit pisan lho, bobo di alas kagak rata! Maafkan hamba yang sudah menyepelekan, maklum biasa kemping di campground yang enyak.

Beres gelar tenda, acara berikutnya pastinya makan dong. Dan sekedar info, makan sehabis cape-cape gini emang paling mantep. Padahal cuma makan pake mie instan doang. Atau roti pake susu doang. Apalagi makan barengan. Nikmat! Sayangnya, cuma batangan doang. Huft. Eh, gak apa-apa deh, mata bisa berkeliling liatin dede gemes di rombongan lain. Wekawekaweka.

Menu seadanya, yang penting ada nasi
Berhubung kita sampe di campground ini terlalu cepet, jadinya kita mau paretin buat langsung muncak aja lho! Padahal niatnya buat muncak tuh mau besokannya sambil berburu sunrise. Tapi berdasarkan rapat paripurna, semua pun setuju buat muncak hari ini juga. Tenang, gak langsung juga kok, kita istirahat dulu sampe jam 2an. Sambil nunggu matahari gak terlalu panas juga, yekan.

Gak kerasa udah jam 2, mulai siap-siap buat naklukin puncak nih. Huhuu.. Nanjaknya bakal lebih enak dong. Karena sekarang punggung kita bebas dari barang bawaan yang ditinggal di tenda. Oh iya, Pak Alam ternyata gak ikut muncak euy. Tapi emang sih dia kan udah nyupirin kita dan butuh istirahat cukup. Udah gitu tenda juga harus ada yang jaga pula. Jadinya kita gak ada yang protes juga deh. Kecuali kalo yang gak ikutnya kayak si Ijal atau Erik yang masih pada muda.

Hmm, ekspektasi hanya sekedar ekspektasi, yang tadinya dikira bakalan lebih gampang nanjaknya, ternyata kebalikannya. Lebih susah, bro! Masalahnya trek pasir dan berbatunya bikin kita butuh tenaga lebih ekstra buat naiknya. Belum lagi kalo kita salah nginjek bebatuan yang kurang kokoh, alhasil kakinya ‘ndlosor lagi ke bawah. Berat.. Berat.. Berat..

Yang lebih ngeselinnya lagi adalah si pucuk itu kok keliatan deket banget tapi kok kayak gak nyampe-nyampe. Udah gitu, makin lama, treknya makin curam, sampe beberapa kali gw kudu jalan sambil ngerangkak. Ampun lah. Gw aja kayak gini apalagi si JM ya, yang sekarang udah buka kaos saking banjir keringet. Mungkin dalam hatinya ada perasaan nyesel, kenapa mau ikutan ke sini. Haha..
Ngerondang-ngerondang, dah!
Ngaso di trek jahanam
And finally, setelah 2 jam yang butuh perjuangan, kita sampai di puncak deh! Apa perjuangan kita terbayarkan? Pastinya. Gw ampe speechless gitu liat pemandangan di depan gw yang Masya Allah kerennya. Pantesan aja banyak orang mau cape-cape nanjak gunung. Udah gitu awan-awan di depan kita berasa kayak deket banget. Kalo punya alat Doraemon mah gw udah loncat ke awan itu kali. Oh iya, di puncak ini ada kawah bekas letusannya juga dong dan pastinya masih aktif ngeluarin uap belerang. Tenang aja, masih aman kok, dan gak begitu bau.

Eh, tapi baru bentar kita istirahat di sini, Mas Didi bilang kalo ini tuh baru puncak pertama. Sedangkan total puncak di Gunung Guntur ini ada 4! Omaigot, mana treknya itu harus nurunin lembah dan naik lagi kalo mau naklukin semua puncaknya. Ini sih namanya udah kepalang basah, mau nolak ngikut nanti pas pulang diledekin *lemah akutu*, hayuk lah kita kemon ke puncak berikutnya!

Puncak 1 Gunung Guntur
Puncak 2 Gunung Guntur
Butuh sekitar 20 menitan buat sampe ke puncak 2, untungnya trek di puncak mah enggak berbatu lagi. Jadinya ga gitu susah. Pemandangan dari puncak 2? Enggak beda jauh sama puncak pertama, cuma beda angle dikit aja ini sih. Sayang, ga berapa lama ada Dementor yang dateng. Puncak ketutup kabut. Gw yang ngerasa petualangan hari ini udah cukup, undur diri buat balik ke tenda. Mumpung kabutnya juga ga gitu tebal. Pas gw bilang gitu, si JM sumringah dong. Kayaknya dia seneng ada alesan buat balik lagi. Jadilah, kita berdua balik duluan, sedangkan yang lain lanjut.

Dan waktu turun gunung inilah yang paling memorable bagi gw. Selain karena diselimuti kabut mistis, yang bikin gw beberapa kali mastiin udah lewat jalan yang bener, trek berbatu ini ternyata malah bikin waktu turun semakin cepet lho! Sumprit, gaya gw pas turun jadi kayak lagi maen sepatu roda gitu. Yang paling ngeselin lagi, pas nanjak dari campground ke sini kan makan waktu kurleb dua jam, eh, pas turun mah setengah jam doang! Huahahaha..

Ketika Dementor mulai datang
Sampe campground, gw istirahat sebentar. Lanjut mandi dan sholat. FYI, fasilitas di pos 3 Gunung Guntur ini udah lumayan lengkap. Ada toilet, mushola, bahkan penyewaan alat kemping. Sekali lagi mungkin ini jadi alesan kenapa gunung ini cocok buat pemula.

Setengah jam berikutnya, geng yang lain sampe di tenda juga. Dan gw cuman bisa ngikik pas mereka bilang pemandangan puncak berikutnya ketutupan kabut. Hihi. Btw, sekarang tenda yang ada bisa kehitung jari lho. Soalnya sesuai dugaan banyak yang udah pulang, maklum kan besok udah hari kerja dan sekolah. Sedangkan kita mah kan bebas. Uhuy. Tadinya pengen pindah lapak juga ke yang lebih bersahabat, tapi entahlah ya, kayaknya udah pada mager aja. Jadinya pasrah aja deh bobok miring-miring dan punggung kena terapi batu-batu tajem. *salah sendiri*.

25 Februari 2019

Mata masih sepet, karena tidur ga nyenyak. Solat Subuh dengan air wudhu yang super dingin. Untungnya suhu di Gunung Guntur ini masih termasuk normal. Palingan sekitar 20 derajat Celcius aja. Sama lah kayak di rumah. Hoho.. Dan momen yang ditunggu pun tiba, ketika matahari mulai nampakin batang hidungnya. Ada bagusnya juga euy ga pindah lapak. Tempatnya pas pisan buat spot liat sunrise. Lagi-lagi bikin kita semakin takjub dengan ciptaan-Nya itu.

Morning Sunshine!
Di pagi ini, kita cuma bersantai ria. Beneran nikmatin momen tanpa gangguan apapun. Sedap banget lah, bos! Segala kerumitan kehidupan kayak terlupakan gitu lah, damai. Apalagi di sini tetep ada sinyal, jadi hasrat untuk pamer ke yang ga jadi ikut pun bisa tersalurkan. Hahaha..

Hingga akhirnya, sekitar jam 10 kita harus berpamitan dengan si Gunung yang menyimpan sejuta pesona ini. Sampai ketemu lagi Gunung Guntur. Semoga alammu tetap terjaga hingga sampai generasi berikutnya. Aamiin.

Yak, kalo gitu, saatnya gw berpamitan sama kalian juga, sampai di sini dulu perjumpaan kita. Sampai ketemu di cerita dan pengalaman berikutnya. Salam lestari! Kapan-kita-kemana?

Catatan:

  • Uang registrasi simaksi masih seikhlasnya.
  • Di Pos 1 ada htm masuk 15 ribu per orang.
  • Hati-hati jaga barang bawan selama di tenda. Selain karena suka banyak babi hutan di malam hari ada ‘babi’ yang lain juga yang suka mencuri.
  • Biaya parkir mobil 50 ribu untuk dua hari.
  • Biaya penyewaan alat kemping di TKP mulai dari 5 ribu sajah.