First of All, ini adalah sekuel dari Tualait yang sebelumnya pernah menggebrak dunia perfanfic-an *narsis*. So, yang belum baca Tualait, dibaca dulu ye..
Link Tualait:
FB: http://www.facebook.com/note.php?note_id=60537026940
FFN : http://www.fanfiction.net/s/4950701/1/Tualait
Blog : http://wewwkereen.blogspot.com/2009/03/tualait.html
Nyu Mun
Aku merenung di depan jendela. Bukan sedang memikirkan harga bahan pokok yang kian melambung, bukan pula sedang memikirkan bisul di pantatku yang dari ff Tualait belum pecah-pecah. Aku di sini sedang memikirkan kekasihku tercinta, Eed sayang. Sudah dua hari ini dia tidak sekolah dan berkunjung ke rumahku. Katanya sih dia sedang berburu untuk menghilangkan dahaganya akan darah. Eit, tapi inget, dia tidak akan mau menghisap darah dari manusia. Alasannya, pertama, Eed tuh manusia nyamuk yang baik hati. Kedua, katanya sih darah manusia pada gak enak, kadang ada yang bau anyir, ada yang bau jengkol, pokoknya gimana amalnya aja lha.
Kutatap lagi semak-semak di bawah jendelaku yang sedari tadi bergerak sendiri, berharap itu Eed yang sedang mengendap-ngendap kayak maling. Tetapi, walaupun dilihat gimanapun, semak-semak tadi emang gerak sendiri karena angin, bukan oleh yang lain. Aku pun mendesah, bukan lewat mulut tapi lewat lubang pantatku (untung saja jendela terbuka, hehe..) dan bertanya-tanya kapankah kekasihku yang memiliki mulut seksi itu tiba?
Lalu kupandangi langit yang berbeda dari biasanya. Yap, malam ini sungguh cerah. Bintang-bintang yang biasanya bersembunyi di balik awan, kini berani menampakkan diri. Mau tak mau, aku mengharapkan ada bintang jatuh sehingga aku bisa meminta sebuah permintaan sederhana, yaitu datangkanlah Eed sekarang sambil bawa perhiasan sebanyak-banyaknya. Sederhana sekali kan? Apalagi aku tahu sekecil apapun permintaan itu biasanya akan terkabul. Kemarin saja aku lihat tetanggaku yang meminta kepada anaknya untuk memijitinya langsung terkabul!! Eh, tapi apa hubungannya dengan bintang jatuh ya? *blushing*
Ah, sudahlah daripada mulai berpikiran ngaco, lebih baik aku tidur saja. Barangkali saat tidur pun, aku bakal memimpikan pujaan hatiku itu. Yep, mudah-mudahan itu terjadi!
Langsung saja kunaiki kasur empukku dan kuhenyakkan tubuhku di atasnya. Kemudian kututupi tubuhku dengan sarung (selimutnya masih dijemur, kemaren ngompol sih) agar tidak kedinginan dan sembari mendengarkan lagu Ridho Rhoma – Menunggumu, lambat laun mataku pun tertutup.
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-
Ngungg… ngung… Suara dengung itu. Suara apa ya? Oh, iya, suara dengung Eed. Ya, itu pasti dia! Kupaksakan untuk membuka mataku yang masih belekan, dan wajahku langsung tertunduk lesu setelah mendapat kenyataan bahwa suara dengung itu memang suara nyamuk aseli. Bukan suara dengung dari Eed. Hufft, padahal baru jam setengah tujuh pagi nih, tidurnya jadi keganggu deh! Eh, tunggu, tunggu.. JAM SETENGAH TUJUH? Sekolah kan jam tujuh! Akhirnya tanpa dikomando aku langsung berlari ke kamar mandi. Ah, sungguh sial sekali. Ternyata di kamar mandi masih ada Charli. Apalagi seingatku Charli hanya akan keluar dari sana kalau dia sudah menyanyikan lagu ST12 sebanyak 7 album, padahal album yang keluar aja baru 3. Hiks, gimana dong? Hmm, ya udah deh, daripada telat aku terpaksa ga mandi dulu. Cukup cuci muka pake segelas air, terus kumur-kumur sedikit supaya mulut ga bau. Walaupun ga yakin juga sih, soalnya semalem baru makan dengan menu teri-jengki.
Kupakai baju yang wajar, kaos kaki dan sepatu juga kupastikan sewarna. Ok, persiapan sekolah selesai, saatnya berangkat sekolah dan berharap aku bisa mendapati sinar pantulan dari gigi Eed. Mari berdoa saja, semoga dia benar-benar sudah masuk sekolah.
Aku melangkah ke meja makan, tak ada siapa-siapa hanya seonggok pisang goreng dan segelas bandrek susu untuk sarapanku. Rupanya Charli sudah berangkat duluan, katanya sih dia mau patroli, beberapa hari belakangan ini ada kasus orang hilang melulu. Makanya kata Charli, aku tidak boleh pulang terlalu malam. Eh, eh, perasaan ada yang aneh, Charli kan sudah berangkat, terus yang di kamar mandi tadi siapa dong? Dengan rasa penasaran kubuka pintu kamar mandi yang sedari tadi menutup dan tentu saja aku tak mendapati apa-apa di dalamnya. Selain seonggok pisang goreng yang ditinggalkan Charli. Ups, berarti tadi Charli cuma B-A-B dan saking buru-burunya lupa menyiram. Huh, ga di meja makan, ga di kamar mandi, sama-sama ninggalin pisang goreng. Tapi enakan yang mana ya? Hehe..
Kulirik jam tanganku dan melihat sudah pukul 7 kurang sepuluh menit. Tak ada waktu untuk mandi. So, kuputuskan untuk langsung berangkat saja. Dan betapa kagetnya aku, saat kulangkahkan kaki keluar dari rumah. Mobil colt beserta pemiliknya sudah berada di depan.
“Pagi, Bela!?” sapa Eed seraya menunjukkan senyum terindah dari moncongnya.
“EED! Kenapa tak bilang kau akan datang hari ini? Tahu gitu aku akan mandi dulu!”
“Begitu juga sudah cantik kok!” puji Eed. Dia selalu bisa merayu dan membuatku tersipu malu.
“Iya kah? Tapi tak ada yang aneh kan? Pakaianku? Celanaku? Kaos kakiku?” tanyaku. Aku benar-benar trauma, karena setiap datang ke sekolah selalu saja ada yang salah dengan yang kupakai.
“Tidak ada. Benar-benar PERPEK! Sempurna!” lagi-lagi dia memuji, hebat sekali dengan giginya yang maju, dia bisa mengucapkan huruf ‘P’ dengan fasih. “Ngomong-ngomong, kau mau pergi kemana?”
“Ckckck, mentang-mentang dua hari bolos, langsung tidak ingat sekolah, eh?” jawabku seraya mencubit tangan Eed yang dingin.
“Sekolah? Sekarang hari Minggu, Bela-ku sayang!”
“HEE?? Pantesan pakaianku ga ada yang aneh. Ternyata sekarang libur!”
“Hahaha.. Itu yang aku suka darimu, kepolosanmu!”
“Sekali lagi menertawakanku, akan kucabut semua gigimu biar nanti bisa kupajang di tembok kamarku!”
“Yee, ngarep. Mentang-mentang gigiku seksi!” ujar Eed narsis. “Lalu apa kau tak ingat hari ini ada momen apa? Karena itulah yang menjadi alasan aku datang ke sini menjemputmu!”
Hari ini momen apa? Aku mencoba mengingat-ingat. Tapi tetap saja aku tak tahu. Walhasil aku hanya menjawab Eed dengan menggelengkan kepalaku.
“Beneran tak tahu?” Tanya Eed lagi. “Memangnya di rumahmu tak ada kalender?”
“Ada sih. Cuma kalender yang bulan sekarang sudah kurobek untuk dijadikan pembungkus kado buat Angela yang ultah seminggu lalu. Habis, mau beli kertas kado juga warungnya jauh!”
“Hihi, ada-ada saja. Hari ini ulang tahunmu, sayangku! Selamat ya!” ucap Eed sambil mengelus pipiku dan membersihkan beberapa belek di mataku. “Makanya aku menjemputmu, keluargaku mengadakan pesta kecil-kecilan di rumahku!”
“Asyiik, mau maen jaelangkung-jaelangkungan ya!”
“Pesta kecil itu untukmu. Bukan untuk mengundang jaelangkung!”
“Oh,” ucapku sedikit kecewa. “Baiklah, kita berangkat saja yuk!”
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-
Rumah keluarga Pulen. Baru pertama kali ini aku berkunjung ke rumah Eed. Rumahnya sendiri terletak jauh ke dalam hutan Gunung Salak. Sehingga jangan berpikiran untuk mencapai tempat ini dengan jalan kaki deh, takut nyasar. Jalannya gelap pula, sinar mentari pun benar-benar terhalang pohon-pohon besar di sekitarnya.
“Rumahmu jauh sekali ya!” komentarku saat pertama kali menginjakkan kaki di bangunan bercat putih yang dikelilingi pagar tinggi itu.
“Dekat kok. Tuh, rumahmu kelihatan dari sini. Rumah kita kan cuma berbeda dua blok saja!” jawab Eed.
“Lha? Tadi kenapa serasa jauh banget atuh. Kalau deket begini, berarti jalan kaki juga bisa? Deskripsi di awal paragraf di atas salah dong!”
“Iya, kita bisa jalan kaki. Tapi seorang putri harus diantar oleh kereta kencana kan?”
Saat Eed berkata itu, pantatku langsung memerah. Err, pipiku maksudnya, bukan pantat. *getok pala sendiri*
“Dan jalan untuk mobil memang cuma bisa lewat jalan yang tadi kita lalui itu.” Eed melanjutkan. “Pokoknya, selamat datang di kerajaanku ya! Yuk, masuk!”
Aku benar-benar merasa seperti putri saat ini. Apalagi saat aku masuk ke dalam rumah, sedang disetel lagu ‘Saya si Putri, si Putri Sinden Panggung’ oh, sungguh pas sekali. Aku suka menjadi pemeran utama cerita ini.
“Selamat datang, Bela!” sambut Ceu Ameh, ibu angkat Eed, sambil memelukku. Parasnya cantik sekali. Giginya pun berbinar-binar indah saking hangatnya beliau menerimaku. Melihatnya pun membuatku jadi pengen tahu rahasia nasi pulen buatannya.
“Ayo masuk, Bela. Tak usah sungkan-sungkan!” Kang Lile ikut menyambutku.
Wiih, kang Lile emang tampan. Aku yakin kalau dia masuk dunia entertainment, pasti dia bakal jadi pelawak paling terkenal se-Indonesia, mengalahkan Narji, Mastur, Mandra, dan keluarga ‘maju' lainnya. Bisa dibilang, hanya Eed yang mampu menyainginya.
“Oh iya, Bela. Maaf ya kalau sajian di meja makan nanti tidak sesuai seleramu. Kami kan sudah lama tak makan!” kata Ceu Ameh. Aku pun melirik ke meja makan dan, wow, serba masakan Sunda. I like it! Namun demi menjaga imej, aku hanya tersenyum kepada Ceu Ameh (tanpa kerasa iler keluar dari mulutku, untung Eed segera mengelapnya).
“Hai Bela. Aku sudah memperkirakan kau akan datang ke sini tepat pada jam dan menit sekarang!” kali ini Elis yang ngomong.
“Wow, kau bisa melihat masa depan?” tanyaku dengan ekspresi takjub.
“Nggak lha. Tadi si Eed sms. Nih!” jawabnya seraya menunjukkan isi sms dari Eed. Padahal udah takjub-takjub dikira bisa ngeramal, taunya nggak.
“Eh, ngomong-ngomong kau kedinginan tidak, Bela? Atau terlalu gerah? Nanti biar kusuruh Njes untuk mengatur suasana di sini kalau kau mau!” Elis nyerocos kayak sales lagi nawarin barang.
“Njes bisa merubah suasana di sini? Atau bahkan suasana hatiku juga? Dia punya kekuatan mejik ya?”
Aduh, bodohnya aku karena sudah bertanya seperti itu, karena jawabannya sudah barang tentu..
“Tidak, Bela! Kau kebanyakan baca novel yang jadi korban parodi FF ini sih ya?” ternyata Mamet yang menjawab, dia baru saja keluar dari kamarnya bersama neng Eros. “Itu tuh, si Njes kan yang megang remote AC ruangan ini. Makanya kalau kepanasan atau kedinginan, ngomong ke dia ya! Hehe.. Ngomong-ngomong, selamat ulang tahun, coy!”
Mamet mengulurkan tangannya untuk bersalaman. Langsung saja kusambut tangannya. Tapi tak terlalu lama, karena kulihat neng Eros mendelik tajam ke arahku a la sinetron di negeri ini.
“Ok, karena semuanya sudah berkumpul di ruangan ini, kalau begitu mari kita mulai acaranya,” Eed mulai berlagak seperti host-host reality show di tipi. “Kita mulai dengan acara buka kado! Kepada Miss Bela Sujana, dipersilakan untuk menuju ruang eksekusi..”
Aku yang tak sadar atau memang tak memperhatikan dari awal ya. Karena tiba-tiba saja kado-kado ultahku dari keluarga Pulen sudah berada di meja kecil di dekat meja makan. Membuatku berpikir, kenapa acaranya bukan makan dulu! Padahal aku lebih tertarik pada masakan Sunda yang tersaji di meja makan itu. Ada semur jengkol, lauk japuh, ikan asin, sayur asem, sayur paria, tahu-tempe, sambel terasi, dan tanpa ketinggalan lalapnya. Uh, makin membuatku ngiler saja. Ok, kalau begitu kado-kado itu kubuka dengan cepat saja, agar sesi acara segera berlanjut. Aku pun mempercepat langkahku menuju meja itu. Namun malang nian nasibku, kakiku terpeleset, aku pun terjatuh dengan pantat yang mendarat duluan. Dan SPLASH!
Ekspresi wajah keluarga Pulen tiba-tiba berubah semua setelah aku terjatuh tadi. Terutama Njes. Ada apa gerangan? Aku pun meraba pantatku yang terasa sakit dan baru menyadari kalau.. BISULKU PECAH! Gawat! Pantas saja keluarga Pulen langsung memasang mupeng alias muka pengen. Mereka pasti tergoda untuk mengisap darahku. Bau darahku pasti sekarang menguar di penciuman mereka (err, tadi juga aku tak sengaja kentut sih, kecium juga gak ya?).
Benar saja. Tiba-tiba Njes dalam posisi siap menyerangku.
“Bela, Awas!” teriak Eed yang segera melindungiku saat Njes benar-benar akan menyergapku. Eed yang takut aku kenapa-kenapa langsung menghadang Njes dan mendorongku sampai terlempar jauh. Yeah, jauh sekali, sampai aku mendarat di depan rumahku (rumah kami terpaut dua blok, ingat?). Hebatnya, aku tidak apa-apa. Paling cuma besot-besot di tangan, kepala, pundak, lutut, kaki, lutut, kaki. Eh, banyak juga ternyata lukanya ya. Kupaksakan diriku untuk bangun. Dan saat aku sudah berdiri, Eed sudah berada di depanku.
“Kau tak apa-apa, Bela?” Tanya Eed khawatir.
“A-aku..”
“Kenapa, Bela? Apa yang sakit? Katakan saja padaku..”
“Aku senang sekali, bisul yang sudah lama menggangguku telah tiada! Terima kasih sudah melemparku ya! Hehe..”
Eed menggeleng-gelengkan kepalanya, “Ya ampun, harusnya aku tahu aku tak perlu terlalu khawatir padamu. Dasar Bela!”
“Ngg, terus bagaimana keadaan Njes sekarang?” tanyaku serius.
“Oh, Njes ya. Tenang saja, Bela. Ternyata tadi itu hanya salah paham saja, sebetulnya dia tidak berniat menyerangmu.”
“Lalu?”
“Dia mendekat ke arahmu hanya untuk mengecek kado darinya yang kau duduki. Dan kau tahu kado itu berisi apa?”
“Sabun mandi 3 batang?” tebakku. Soalnya ketika masih kecil, kalau ada temanku yang ulang tahun, ibuku selalu membelikan itu untuk kadonya.
“Isinya tiket Disneyland ke Hong Kong!” ujar Eed tanpa mempedulikan tebakanku tadi.
Wow, tiket Disneyland! Ke Dufan aja belum pernah apalagi Disneyland. Njes baik sekali mau memberiku kado itu.
“Terus tiketnya tidak rusak kan?” aku harap-harap cemas.
“Tiketnya sih masih ada,” Eed diam sejenak, “tapi jumlahnya berkurang satu, karena sobek! Maafkan aku, Bela!”
“Lho, kok minta maaf? Kan tiketnya masih ada, aku pergi sendiri juga ga apa-apa deh!” kata-kataku terlihat ngarep sekali ya.
“Tidak, Bela. Justru kebalikannya, kau yang tidak bisa pergi. Tiketnya seharusnya berjumlah 7, sekarang tinggal 6. Dan setelah dirapatkan, diperoleh keputusan bahwa hanya keluarga Pulen yang bakal berangkat.” Eed menjelaskan dengan detail. “Maaf ya, Bela. Aku benar-benar tak bisa berbuat apa-apa. Masalahnya aku juga beneran pengen ngeliat Mickey Mouse dan Winnie the Pooh versi aslinya sih.”
Tak mungkin. Disneyland-ku. Disneyland-ku yang sudah di depan mata. Dadaku tiba-tiba sesak, aku susah bernapas, hmm, si Eed saking tegangnya kentut kayaknya nih. Bau!
“Ok, Bela. Sekali lagi aku minta maaf ya. Aku harus pergi dulu, pesawat akan berangkat nanti sore! Sampai ketemu! Seandainya saja tiket ke-7 tidak rusak, hiks!”
Usai berkata seperti itu, Eed segara melayang pergi ke dalam rumahnya. Beberapa detik kemudian terdengar suara deru mesin mobil dinyalakan, lalu bunyi decit ban tanda mobil sudah melaju. Mereka telah pergi. Mereka berangkat ke Disneyland! Sedangkan aku.. Aku hanya terdiam di tempatku. Tak bisa berbuat apa-apa. Sampai akhirnya aku mendongak karena teringat sesuatu. Aku pun berteriak, “EEEEDDD, JANGAN DULU PERGI! KITA KAN BELUM MASUK SESI MAKAN-MAKAAAN!”
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-
“BELA, bangun.. Bela! Apa kau bermimpi buruk!“
Suara itu memaksaku untuk terbangun. Suara Charli. Bahkan ketika sedang membangunkan orang, suaranya pun dibuat ngebass abis, bawa gitar segala lagih! Dasar ST setia.
“Ada apa sih, Charli?” tanyaku setengah menggerutu. “Ini kan baru jam 5 pagi!”
“Aku tak akan membangunkanmu, jika saja kau tidak teriak-teriak dalam tidurmu! Apa kau bermimpi buruk? Ini pasti ada hubungannya dengan cowok bergigi unik favoritmu itu!”
“Mimpi buruk? Kebalikannya!” sanggahku langsung manyun. “Aku tadi sedang bermimpi naek rollercoaster di Disneyland, makanya aku senang sampai teriak-teriak. Charli sih bangunin!”
“So, bukan karena sakit hati karena ditinggal kan?”
“Bukan lha, ngapain teriak-teriak gara-gara ditinggal cowok. Tinggal nyari lagi yang giginya mancung! Hehe..”
“Ya sudah, bangun gih. Biar ga telat sekolah. Mobilmu kan masih di bengkel! Kudu jalan kaki ke sekolah dah tuh!”
Tentu saja aku tak bisa membantah lagi. Aku pun bangun-gosok gigi dan cuci muka-sarapan-boker-itungin satu per satu yang keluar-ketiduran sebentar di wc-cebok- mandi -berangkat sekolah. Di sekolah pun aku hanya masuk kelas-bengong mikirin Eed-bengong mikirin Disneyland-istirahat-makan-masuk kelas-izin ke toilet-duduk di kloset-ketiduran sebentar-bangun-masuk kelas-bengong lagi-pulang. Dan seterusnya, dan seterusnya, Kegiatan sehari-hariku sekarang hanya itu. Semua berkat tiketku yang rusak! Dan hari-hari tanpa Eed? Benar-benar sepi! Eed dimanakah kau berada? Apakah kau sedang memikirkanku juga?
Tiit.. Tiitt.. Hape-ku berbunyi. Kurogoh kantong orang yang di depanku, ups, kurogoh kantungku dan kukeluarkan hape buatan Cina milikku. Ada MMS dari Eed. Kubuka MMS itu dan terpampanglah foto Eed sedang berpose dengan karakter Winnie the Pooh. Tertulis pula kata-kata: ‘Bela sayang, aku tau kau sedang merindukanku. Karena aku pun begitu. Makanya setiap kali aku ke rumah hantu atau ketika ketakutan naek permainan aku akan meneriakkan namamu! Miss u, Eed.’
Kangenku sedikit terobati dengan membaca MMS itu. Tapi rasa iriku kembali membuncah saat melihat foto Eed di pesan multimedia tadi. Aku kesal. Aku harus bisa melupakan Disneyland dulu. Namun sepertinya akan susah. Karena setiap kali aku melihat pantulan cahaya, baik di jendela sekolah, cermin, kaca spion, atau benda mengkilat lainnya.. Aku pasti ingat pantulan gigi Eed, mengingat Eed berarti mengingat Disneyland! Apa yang harus kulakukan agar tak begini lagi!
Tiga hari berlalu dengan rutinitas biasa. Bedanya pagi ini, Charli mengajakku berbicara. Sepertinya dia membaca gelagat anehku di hari-hari belakangan ini.
“Bela, kemari. Aku ingin membicarakan tentang dirimu di hari ke belakang ini!” Charli mengajakku duduk di sofa yang berada di teras. Eh, bukan sofa deh, tapi ‘Bale’, alias ranjang dari bambu tanpa kasur. Biasanya buat tempat selonjoran sekeluarga.
“Soal aku yang tidur sambil teriak-teriak mulu?”
‘”Yeah, walaupun sebenarnya aku sudah bisa mengatasi hal itu dengan menyetel lagu Tokek Belang ciptaan tokoh idolaku,” Charli diam sebentar, sambil tak sengaja membuat pantatnya bersiul, kemudian melanjutkan, “Aku lebih ingin membicarakan solusi keseluruhan soal masalah ini. Aku tak ingin melihatmu bengong lagi. Mendengar teriakan setiap malammu lagi. Dan tak mau melihatmu nutup idung setelah aku kentut (yang ini sih sebenernya ga ada hubungan ama topik). Oleh karena itu hari ini kau tak perlu sekolah. Aku akan mengajakmu ke tempat dimana kuyakin kegundahanmu akan hilang!”
“Toilet?” tebakku.
“Kegundahan soal Disneyland, bukan kegundahan yang lain!” kilah Charli seraya memegang perutnya, jangan kentut lagi plis. “Pokoknya kau harus ikut denganku. Aku akan menelepon wali kelasmu untuk meminta ijin, OK!”
Tak ada sanggahan dariku. Aku hanya mengangguk dengan tangan tetap di hidungku sambil melihat Charli masuk ke dalam untuk menelepon. Ke tempat manakah Charli akan membawaku, apa benar-benar bisa menghilangkan
kegundahanku? Tak tahulah, tapi patut dicoba deh.
Tak berapa lama Charli sudah keluar lagi, ia pun berkata, “Sip, aku sudah dapat ijinnya, kemon kita berangkat!”
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-
Daerah yang kulewati bersama Charli benar-benar daerah yang belum aku kenal sama sekali. Lagipula kapan kenalannya ya, orang baru ketemunya juga hari ini. Pokoknya daerah ini tuh bisa dibilang lebih sejuk tetapi lebih cerah daripada tempat tinggalku yang senantiasa mendung dan hujan hampir setiap hari. Sudah beberapa kali aku bertanya ini ada di daerah mana. Tetapi Charli hanya menjawab, “Kamu tak tahu? Ketika kau bayi sampai kau berumur lima tahun kan aku sering mengajakmu ke sini!” Yea, hanya itu saja. Dasar Charli, mana mungkin aku bisa ingat daerahnya di umur segitu. Di umur sekarang aja aku masih sering lupa.
“Kita bakal ke Curug (air terjun) Cikesang, say!” ujar Charli akhirnya. Setelah kutanya sekitar 11 kali, itupun dia mau menjawab gara-gara kusogok voucher pulsa 10rebu. Pastinya, digunakan untuk berlangganan RBT ST12. LoL. “Tapi bukan denganku juga sih ke sananya, soalnya sebentar lagi aku harus patroli. Kasus orang hilang masih banyak uy! Anehnya, yang ilang tuh kebanyakan yang lagi kena gejala penyakit DBD.. Penculik yang aneh!”
What?! Sepertinya ada yang janggal. Mereka pasti bukan diculik, melainkan menjadi korban dari manusia nyamuk seperti Eed. Aku ingat Eed pernah ngomong sih, kalau masih banyak makhluk kayak dia, dan masih banyak pula yang masih ngisep darah manusia. Aku pun meraba pantatku. Bekas bisulku yang pecah sudah kering belum ya. Aku kan ga mau semua manusia nyamuk menyerangku. Lagian aku tuh geer banget yah? Mana mungkin mereka semua mengincarku. Apes banget kalau beneran kejadian kayak begitu mah *lirik Bella yang asli*.
“Sip, kita udah nyampe!” seru Charli ketika kami sudah sampai di sebuah gubug sederhana yang di depannya terdapat kolam ikan. Di pinggir kolam ikannya terdapat sebuah kotak dari kayu setinggi pusar orang dewasa, dengan pintu dari potongan atap berbahan seng, atau bahasa singkatnya, jamban. Pantes aja ikannya gemuk-gemuk ya! Hehehe..
Plung.. Sreeek.. Terdengar suara pintu seng jamban terbuka mengikuti suara cemplungan terakhir sang punya hajat. Rupanya di situ lagi ada orangnya toh. Tapi kok ga keliatan yah dari tadi? Memang sih kalau orang B-A-B kan pasti jongkok, nah, kan udah selesai B-A-B nya. Kok masih ga keliatan, masa dia masih jongkok aja!
.
.
.
.
Ups, sepertinya begitu atau.. Yang kulihat ini salah?
“Hallo, Charli! Selamat datang!” sambut orang yang baru keluar dari jamban tadi.
“Hai, Jekop! Rupanya kau di situ ya..” ayahku balas menyapa, lalu melirik ke arahku. “Kau masih ingat dia kan, Bela? Dulu kan kalian sering maen rumah-rumahan bareng.”
Dahiku langsung mengernyit. Jekop? Aku melirik pria bernama Jekop tadi. Dia hanya memakai celana bola pendek berwarna biru, tanpa atasan, sehingga memamerkan perut buncit serta dada ratanya. Kulitnya sendiri berwarna sawo mateng ampir busuk. Hebatnya lagi, badannya sangat tegap! Walaupun, err, dia hanya setinggi ketiakku saja. Namun entah kenapa, setelah melihat perawakannya, hatiku sedikit berdesir-desir. Kalian tau sendiri kan kalau aku suka manusia unik dan Jekop salah satu yang masuk kategori tersebut!
“Dilihat dari ekspresimu, sepertinya kau sudah lupa..” ucap Charli menebak-nebak. Sotoy banget sih! Aku kan bukannya lupa, tapi cuma ga inget doang. “Yah, pokoknya dia yang akan mengantarkanmu ke curug. Kalian kenalan laginya pas di sana aja ye. Aku mau pamit dulu nih, dari tadi temen di pemancingan udah sms melulu!”
“Yea, yea, selamat berpatroli di pemancingan!” sindirku.
“Ups, ngg, bener kok, Bel. Mau patroli nih. Baik-baik ya ama Jekop. See you!”
Sepeninggal Charli, wajahku tiba-tiba saja memerah. Ada apa ini? Perasaan ini sama seperti ketika aku pertama kali bertemu Eed. Apakah aku menaruh hati kepada Jekop? Kupandangi wajah manusia unik yang sedang tersenyum padaku itu. Tapi aku langsung memalingkan wajah. Malu banget uy! Lagipula aku kan sudah punya Eed. Meskipun kuakui, ada rasa bimbang di hatiku.
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-
Kami sampai di Curug Cikesang beberapa menit kemudian dengan menggunakan sepeda gunung beroda tiga hasil modifikasi Jekop. Lumayan sih, di perjalanan kita berdua bisa ngobrol-ngobrol sambil kenalan lagi. Rupanya nama asli Jekop tuh Yakup (iyah, pake ‘p’ bukan pake ‘b’). Dia dipanggil Jekop karena kalau Yakup ketika orang mau memanggilnya kan jadi kudu lengkap, ga bisa cuma ‘Yak’ atau ‘Kup’. Jadilah dia pake Jekop aja, soalnya kan kalau Jekop bisa disingkat jadi ‘Jek’ doang, pas dipanggil. Oh iya, di perjalanan kami pun bercerita dari masalah sepele kayak tips agar rambut kita bebas dari kutu (cukup dibotakin aja!) sampai masalah pribadi seperti jadwal kita mengupil atau garuk-garuk pantat. Semuanya dibahas tuntas.. tas.. tas. Pokoknya ngobrol bersama Jekop tuh nggak roaming alias nyambung banget. Berkat dia juga aku jadi bisa melupakan soal Disneyland yang belakangan menggangguku.
“Bela! Lihat aku!” teriak Jekop, berhasil membangunkanku dari lamunan. Tuiiing.. Byuuur.. Si Jekop main lompat dari atas air terjun aja. “Gimana Bela? Keren kan!”
“Keren sih, tapi..”
“Tapi apa?” sahut Jekop setelah dia sampai di daratan lagi.
“Sejak kapan kau sampai ke atas? Tadi kan kau masih di sampingku! Sungguh mencurigakan. Jangan-jangan kau seperti..”
“Seperti keluarga Pulen? Tentu saja aku bukan makhluk pembuat polusi suara itu! Ups..” potong Jekop.
“Tu-tunggu dulu, darimana kau tahu soal keluarga Pulen? Apa hubungannya dirimu dengan mereka? Lagipula salah satu dari mereka kan pacarku!”
“Yeah, aku sudah dengar dari Charli. Kau pacaran dengan Eed, dan dari ekspresimu aku tahu kalau kau juga sudah tahu jati diri asli mereka kan?” kata Jekop, dan dia bisa membaca pikiranku hanya dengan melihat ekspresiku? Err, tapi bener juga sih, aku kan kalau lagi nyembunyiin sesuatu pasti garuk-garuk pantat saking kikuknya.
“Iya, dia tuh manusia nyamuk. Memangnya kenapa?” kataku, kepalang basah.
“Karena gara-gara ada mereka dan manusia nyamuk lainnya di daerah sini, aku dan semua pemuda di kampungku jadi makhluk seperti ini!” Jekop terlihat kesal. “Kau ingat kasus-kasus orang hilang akhir-akhir ini? Itu semua karena ulah manusia-manusia nyamuk sialan itu. Jadi tugas kami-lah untuk membantai mereka. Apalagi kami termasuk salah satu makhluk yang paling ditakuti oleh spesies mereka!”
“Eh? Kau juga makhluk jadi-jadian? Hmm, makhluk apa ya? Tunggu, biar kutebak..” aku diam sejenak sambil berpikir. “Makhluk yang ditakuti nyamuk ya. Manusia cicak? Tak mungkin. Seharusnya kau bisa nemplok di dinding dan tak bisa berenang. Manusia tokek? Hmm, ga mungkin juga. Harusnya kulitmu belang-belang dan tokek juga masih sodaraan ama cicak. Apalagi ya kemampuanmu? Oh ya, bisa loncat tinggi, bisa berenang, cebol.. Ups, sori, yang terakhir tadi keceplosan, Jek. OK, kayaknya aku sudah tahu, kau itu manusia kodok! Iya kan?”
“Salah!” kilah Jekop, membuatku berpikir keras lagi.
“Ok, aku menyerah. Sebenernya kau ini makhluk apa, eh?”
“Manusia katak. Hehe..”
“Huu.. Katak sih sama aja kali kayak kodok!” protesku seraya menjitak kepala Jekop, mentang-mentang dia lebih pendek.
“Kemaren manusia nyamuk, sekarang manusia kod, eh, katak.. Besok-besok manusia jadi-jadian apalagi ya? Padahal setahuku di Indonesia hanya ada werepig alias babi ngepet aja!”
Jekop memberengut sambil menggosok-gosok kepalanya yang sakit, kemudian berkata, “Sepertinya kau sudah harus terbiasa, Bel!”
Aku mengangguk.
“Jadi, mau mencoba loncat dari atas juga? Ayolah, dijamin bakalan lebih seru dari lorrel koster atau apalah itu namanya! Mau ya!” paksa Jekop. “Kalau perlu, bakalan kurekam juga aksimu!”
Direkam? Tanpa direkam saja aku ga bakal mau. Apalagi kalau direkam! AKU PASTI MAU! Maklum, banci kamera gitu lho! Hihi.. Jadilah aku hanya bisa menjawab, “Baik, Jek, aku mau.”
BUWESSHH.. Tanpa aba-aba tubuhku terangkat. Aku digendong oleh Jekop, eh, tunggu.. Aku digendong oleh Jekop yang telah bertransformasi jadi kodok raksasa (Eng, raksasa untuk ukuran kodok, tapi tetep lebih kecil dari manusia, karena walaupun sudah jadi kodok dia tetep sebesar Jekop aseli). Dia membawaku dengan meloncat-loncat menuju atas tebing air terjun. Pokoknya, kalau cewek normal sih pasti teriak-teriak kalau ngalamin hal yang sama sepertiku. Kalau aku? Tentu ga teriak, tapi langsung ngompol! Maaf ya, Jek, badanmu jadi kebasahan. Tapi tubuhmu jadi makin seksi kok kalau basah.
Sesampainya di atas, Jekop langsung saja meninggalkanku sendiri. Dia turun ke bawah lagi dengan sekali loncatan untuk mengambil handphone android miliknya di sepeda untuk merekamku. Kenapa ga ngerekam pake hape-ku saja yah? Padahal hape Cina-ku kan lebih keren *diem-diem nangis karena iri*.
“Ayo, loncat, Bel, videonya udah on nih!” seru Jekop dari bawah, suaranya sangat cempreng ketika berteriak.
Tiba-tiba aku langsung gugup. Bagaimana tidak? Aku harus lompat dari air terjun ketinggian entah berapa meter, pokoknya tinggi banget deh. Tapi aku harus bisa. Aku juga kan ingin merasakan adrenalin mengalir di setiap pembuluh darahku, merasakan keberanian membuncah di seiap nadiku dan kebahagiaan menggelayut di setiap nafasku. Walhasil dengan semangat tak jelas itu, aku pun melakukannya..
“EED, AI LOP YUUUUUU! HUAAAAAAAA!!!”
BYUUUR..
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-
“Bela, bangun, Bela!”
Suara ngebass itu lagi. Pasti Charli.
“Hooaaahem, ada apa sih bos!” gerutuku, dengan posisi tetap berbaring di kasur.
“Kau berteriak-teriak lagi dalam tidurmu! Malahan sekarang plus ngompol juga! Sepertinya perjalanan kemaren ga berhasil ya!”
“Eit, jangan salah. Cukup berhasil kok,” sergahku sambil memaksakan diri untuk duduk. “Soalnya kali ini yang aku impikan adalah saat aku beraksi di Curug Cikesang bareng Jekop. Nih, sampai ngompol pasti gara-gara ngimpi lagi berenang. Hehe.. Ke sana lagi dong, Dad!”
Charli menggeleng-gelengkan kepalanya, membuat bandul anting di kedua kupingnya bergoyang-goyang. “Tak bisa, nak. Hari ini kau harus masuk sekolah. Lagipula sudah ada yang menjemput tuh!”
“Siapa? Eed?”
“Bukan. Namanya Elis kayaknya mah!”
Elis? Ngapain dia ke sini. Tumben sekali. Kok Eed ga ikut? Gaswat, jangan-jangan ada sesuatu yang terjadi dengan Eed pas di Disneyland. Apa giginya nancep kena kepala orang yah pas dia lagi teriak? Kubuyarkan lamunan tadi dan langsung saja menghambur keluar rumah tanpa mengganti celanaku yang masih basah, udah setengah kering juga sih, kan ngompolnya udah lama. Hihi..
“Elis! Kapan kalian pulang? Trus, tumben-tumbenan kau yang nyamper ke sini? Ada apa gerangan?”
“Kami pulang tengah malem tadi. Oh iya, Bela, ada yang harus kita omongin!” Elis terlihat serius.
“Soal apa? Eed ya?”
“Iya. Soal Eed dan videomu di youtube!”
“Soal videoku? Di youtube? Ih, sumpah deh ketemu Ariel aja belum pernah!”
“Bukan video skandal, Bela!” sanggah Elis. “Video kau melompat dari curug sambil teriak Ai lop yu itu! Nah, sekarang Eed merasa bersalah setelah melihat video itu!”
“Lha kok bisa?” aku terheran. Sebenernya pengen nambahin, ‘lha kok bisa, aku tambah terkenal dong’ tapi kuurungkan
saja. Btw, terima kasih ya Jekop!
“Iya, jadinya teh sekarang si Eed mikirin gimana caranya untuk membuat video yang lebih heboh saat berteriak ungkapan cinta padamu. Dia berencana untuk merekam dirinya berteriak ai lop yu di tengah kerumunan orang, sebentar lagi ketika festival panen raya di desa sebelah dimulai. Gawat kan? Bisa-bisa dia disangka orang gila. Lagipula katanya di daerah situ juga mau diadain Fogging sebagai pencegah merambahnya penyakit DBD. Kita harus mencegahnya!”
OMG, so sweet banget kan si Eed itu. Maunya sih aku tak usah mencegahnya, karena dengan begitu aku jadi tahu pula seberapa dalam cinta Eed padaku. Tapi apa mau dikata, aku kan ga mau nanti Eed kenapa-kenapa. Aku juga kan kuatir kalau misalnya para petani ngambek terus ngejadiin gigi Eed sebagai cangkul mereka. Atau Eed yang keracunan asap
fogging sehingga mati dalam keadaan gigi yang menciut. Hiks, ngebayanginnya aja udah ngeri apalagi kalau kejadian.
“Ya sudah, kita berangkat saja langsung.. Yuk!” kataku, langsung menarik tangan Elis.
“Tapi, Bela..”
“Apa lagi? Ntar kalo kelamaan kita bisa terlambat tauk!”
“Tapi, Bela, ganti celanamu dulu dong!”
“Oh iya juga ya, hehe..”
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-
Terlihat kerumunan orang-orang di alun-alun kampung Cikobokan, kampung yang berada di sebelah kampung Cikiruh. Festival Panen Raya memang selalu dijadikan ajang untuk semua masyarakat sekitar sini untuk berkumpul dan bersuka cita. Sehingga bisa dibilang, inilah acara pelepas lelah bagi para petani yang saban ari kudu macul sawahnya. Panggung hiburan dan bazaar-bazaar pun tersedia di sini. Kalau saja aku ke sini saat aku tidak mempunyai misi menyelamatkan Eed, aku pasti sudah belanja sayur-mayur murah yang ada. Kapan lagi dapet sayur murah. Pete aja seiket sekarang udah mahal *curcol*. Terus juga mungkin aku bakal nonton dangdut di panggung utama, mana bintang tamunya tuh Syaiful Jamil pula! Eh, eh, topeng monyet dan kuda lumping juga ada uy, ah, benar-benar menggoda selera. Aku jadi bimbang, nerusin nyari Eed atau nonton hiburan yang ada aja.
Uh, kutampar-tampar pipi Elis untuk menghilangkan pikiran jelek itu. Tapi kok pikirannya tetep ga ilang ya? *diteriakin Elis:
“Ya iyya lha, makanya yg ditampar tuh pipi sendiri, jangan pipi orang lain”* Wah, ada benarnya juga. Eh, tapi kan Elis harusnya ga bisa baca pikiran orang ya? Ah, kepalang, udah ngaco dari awal inih. Hehe.. Ya udah deh, kutampar pipi Elis sekali lagi, nah, berhasil kan? Sekarang baru ilang deh pikiran jeleknya.
“Elis, gimana nih? Kita sudah tiga kali puasa tiga kali lebaran muterin ini alun-alun, tapi Eed belum ketemu-ketemu!” aku mulai panik, mana jam 12 –saat semua stand dan acara diistirahatkan- bakal dimulai foggingnya di semua kampung Cikobokan. Kulirik jam tanganku yang kubeli di toko serba goceng, mataku membelalak, karena jam digitalku menunjukkan jam 9.20!! Err, masih lama dong ya ama acara foggingnya. Paniknya kecepetan dong. :P
“Aku juga heran, biasanya aku mudah mengenali pantulan gigi dari Eed,” gumam Elis terdengar lemas.
“Terus kenapa dong jadi susah dikenalin?”
“Soalnya orang-orang yang ke sini banyak yang memiliki gigi seperti kami juga! Untuk mendeteksi dengungannya juga susah, karena terlalu berisik!” papar Elis.
“Terus gimana dong?” yang bisa kulakukan sekarang emang hanya nanya doang.
“Kita ke panggung utama aja, terus..”
“Kita joget bareng ama Syaiful Jamil!” potongku, ngarep abis deh, sumpah!
“Bukan lha. Kita pinjem mikropon-nya, terus kasih pengumuman orang hilang. Kita bilang, orang yang kita cari itu rada terbelakang mental jadinya ga bisa nemuin jalan pulang. Gimana?” usul Elis.
“Yee, yang ada Eed sembunyi, bukannya muncul atuh kalo disebutin kayak gitu! Tapi pantas dicoba juga deh!”
Dan kami pun segera berlari ke panggung utama, sampai tiba-tiba..
“Para hadirin-hadirot nu bahagia, parantos ieu bade aya penampilan ti salah saorang nu cenah mah bade nyanyikeun lagu kanggo ngungkapkeun tresna alias cinta ka kabogohna. Urang sambut.. EED SUMANTRI! ” suara MCK tadi *dikepruk*, iya-iya, kuralat, maksudnya suara MC! Suara itu menggema di seantero alun-alun. Saat itu entah kenapa waktu tiba-tiba terasa seperti berhenti, semua perhatian pun tertuju ke topeng monyet. Yee *timpukin tukang topeng monyet*. Semua perhatian pun tertuju ke panggung utama yang tiba-tiba begitu silau setelah si penampil muncul sambil tersenyum lebar.
“Ehem, kepada Bela..” ucap Eed memecah keheningan, “Bela Sujana, pacarku, kabogoh abdi. Kupersembahkan lagu ini spesial untukmu sebagai bukti tanda cintaku yang besar padamu. Dan aku tahu cintamu pun begitu padaku! MUSIIIK..”
Alunan musik mengalir dan tak berapa lama diikuti oleh suara merdu dari Eed yang menyanyikan lagu PUSPA dari ST12. Tanpa sadar aku pun langsung berlari menuju belakang panggung, untuk siap menyambut Eed setelah dia beres bernyanyi. Namun, betapa kagetnya aku karena di belakang sudah ada Charli! Malahan yang lebih mengagetkan lagi, Charli pun sedang memegang mikropon. Charli pun hanya melambai padaku -dengan muka tanpa dosa- sambil tetap bernyanyi saat tahu aku sudah berada di situ. Huhu.. Harusnya aku tahu kalau Charli lha yang mendubbing suara nyanyian Eed. pantesan suaranya aku kenal. Aku memang pernah mendengar curhatan dari ayahku juga sih soal dia yang ga berani tampil di panggung, jadi sekarang dia minjem wajah Eed yang keren ya buat pamer suaranya! Tapi tak apalah, dengan begitu aku, Eed, dan Charli menjadi sama-sama terkenal. Dunia entertain, here we come.. *ngekhayal kejauhan*
“Beri tepuk tangan buat kang EED!” teriak Emsi setelah lagu selesai.
Langsung saja kusambut dirinya ketika Eed turun dari panggung.
“Eed, tega-teganya kau!”
“Maaf, Bela.. Aku..”
“Tau ga sih lo, guee kuatir banget sama elo. Elo harusnya tau itu, elo..” alayku terhentikan saat jari telunjuk Eed ditempelkan di bibirku. Aku pun tambah mematung ketika Eed mencium keningku yang seperti biasa bakalan meninggalkan bekas gigi.
“Maafkan aku, Bela. Aku tak bermaksud. Lagipula sebenarnya ini semua ide Charli!”
Semua mata pun langsung menyorot kepada Charli.
“Ngg, ya, Bela. Aku yang meng-sms Eed dan bilang kalau aku akan merestui pernikahan kalian kalau Eed mau menjadi objek Lipsync-ku! Elis pun aku yang nyuruh..” Charli menjelaskan duduk perkaranya. “Dan tenang saja, aku sudah minta ijin bolosmu juga kok di hari ini! Oh iya, lagian ini sebagai Plan B kalau aku gagal dengan Jekop Plan!”
“Pernikahan?” tanyaku tanpa menggubris penjelasan Charli berikutnya. Walaupun aku tahu semua yang dilakukan Charli adalah bukti bahwa dia peduli padaku. “Emang kapan Eed melamarku?”
“Kemaren sore, saat kau masih di Curug, dia menelpon ke rumah!” Charli lagi yang ngomong.
“Ja-jadi, kemaren teh Charli yang ngangkat? Berarti pas aku bilang ‘Maukah kau menikahiku’ juga Charli yang denger!” ucap Eed terdengar syok. Charli hanya mengangguk. “Pantesan, setelahnya telepon langsung ditutup!”
“Kalau begitu, daripada salah lagi, kau lamar Bela lagi saja sekarang!” si Elis yang mengusulkan. Ide bagus cuy!
“Baiklah..” Eed menarik napas dalam-dalam, kemudian berlutut sambil memegang tanganku, lalu berucap, “Bela binti Suj, err, Bela binti Charli (Eed ngeralat gara-gara dipelototin Charli).. Maukah kau menikahiku?”
Wajahku langsung terasa panas. Apa yang harus kujawab? Jelas sekali aku mau menjawab ‘ya’ tapi aku ragu-ragu. Aku pun melirik ke ayahku, “Charli, apakah boleh? Aku kan masih kelas 3 SMA!”
“Tapi umurmu sudah 20 tahun kan, nak. Ga naik kelas 3 kali gitu lho!” balas Charli to-the-point kayak biasa.
Tapi berkat jawaban dari Charli itu, aku pun semakin mantap dan berkata, “YA, Eed! Iya aku mau menikahimu!”
Tepuk tangan dan sorakan riuh terdengar, setelah aku berkata seperti itu. Tapi bukan untukku juga sih tepuk tangannya, melainkan buat Syaiful Jamil, yang ternyata baru selesai tampil. Syaiful Jamil? HUAA, EED SIH, AKU JADI TAK MENONTON AKSINYA DI PANGGUNG KAN!
TAMAT (Semoga bukan untuk sementara) :D
NB:
- Sori ya, rilis sekuelnya agak lama dari pendahulunya. Beda dua tahun lho! Makanya gw awalnya rada kagok untuk merasuk ke karakter Bela lagi. Huahaha..
- Entah masih bakal ada sekuel lagi apa nggak. Soalnya nonton pelem Eklipsnya aja udah tersiksa. Sedangkan detail di novel udah pada lupa. Hohoho..
- Buat fans Twilight jangan pada ngambek ya idolanya dinistakan.. Just for fun kok *dilemparin duit receh sekarung*
Bisa diliat juga di:
http://www.fanfiction.net/s/4950701/2/Tualait_Saga
http://www.fanfiction.net/s/4950701/2/Tualait_Saga
No comments:
Post a Comment