Thursday, June 11, 2015

#30hariMenulis hari ke-11

Bukan main senangnya, ketika aku mengetahui kalau aku tengah mengandung lagi. Ini merupakan kehamilan anak kedua kami. Sambil mengelus-elus perutku yang belum membesar karena masih minggu-minggu awal, kutatap putra sulungku yang sedang tertidur, kemudian aku bergumam, "Mulai besok, umi bakalan manggil kamu dengan sebutan 'Aa' ya.." Entah kenapa setelah aku mengatakan itu, putraku langsung tersenyum, mungkin kini dia bermimpi sedang bermain dengan calon adiknya ini, pikirku.


Sudah tiga bulan aku mengandung, Sepertinya tak ada kendala berarti. Perutku juga sudah agak membuncit sedikit. Aku dan suamiku pun berinisiatif untuk memeriksa janin di perutku. Menurut bu bidan yang menanganiku, janinku dalam keadaan sehat. Dia pun menjelaskan padaku agar tidak bekerja terlalu keras dan berbagai saran lainnya, yang pasti di masa kehamilan awal harus serba hati-hati. Aku hanya mengangguk, meng-iyakan segala pernyataan bu Bidan. Meski dalam hati ini membatin, tenang, bu, saya kan udah pengalaman mengandung sebelumnya.

Bulan ke-5. Aku jatuh sakit. Badanku ngedrop. Mungkin karena aku kecapekan mengurus segala urusan rumah tangga sendirian. Ternyata aku terkena gejala tipes. Mudah-mudahan tidak berefek negatif terhadap bayi yang dikandungku.

Bulan-bulan berikutnya, alhamdulillah tak ada masalah lagi. Sampe tiba di bulan ke-9, perutku terasa mules hebat. Mungkin pertanda pembukaan. Kupegangi perutku yang terasa sakit, lalu menyuruh suamiku mengantar ke Rumah Sakit Ibu dan Anak. Sesampainya disana, aku langsung dibawa ke ruang kelahiran. Bidan yang menangani menyarankan untuk melakukan operasi cesar. Akhirnya kami menyetujui dan dilakukanlah operasi itu.

Sang bayi pun lahir. Namun aku heran, aku tidak boleh melihat fisiknya saat itu. Menurut perawat, bayinya harus masuk ke ruangan inkubator, karena lahir prematur. Aku pun tercekat, semoga tidak terjadi apa-apa dengan si dedek bayi.

Namun, Tuhan berkehendak lain, 2 hari setelah kelahirannya, si dede bayi menghembuskan nafas terakhirnya. Mau tak mau, air mataku pun mengalir. Aku meminta kepada bu Bidan untuk melihat wajah anakku, karena dari awal aku masih belum melihat wujudnya. Dan ketika akhirnya aku diizinkan melihatnya, hatiku benar-benar mencelos. Ukuran tubuhnya memang lebih kecil dari bayi normal, pantas saja kau harus berjuang melawan kondisi dunia ini. Aku pun meminta kepada perawat untuk bisa menggendongnya, lalu setelah dia ada di gendonganku, kuciumi wajah polosnya yang terasa dingin itu. Setelah itu kuizinkan perawat membawanya kembali ke dalam.

Suamiku pun masuk ke ruanganku, wajahnya terlihat syok sama sepertiku. Kami pun berpelukan agak lama, kemudian suamiku berkata, "Semoga anak kita bisa jadi penghias surga ya, mi.."

Aku mengangguk, sambil mengamini.

Siangnya, jenazah bayiku dimakamkan. Letak makamnya tepat di samping makam orang tuaku. Dan malamnya ketika aku tertidur, aku memimpikan wajah orang tuaku yang sedang tersenyum sambil menggendong bayi. Bangun dari tidur, aku langsung memanjatkan, "Allohumaghfirlahum warhamhum wa'afihim wa'fuanhun." Dan aku hanya membatin, mungkin kamu memang mau nemenin kakek ama nenek ya, dek. Inget, di sana jangan nakal ya..

Fin

No comments: