Saturday, June 13, 2015

#30hariMenulis hari ke-13 'Fanfic The Raid: Miracle'

"Jadilah salah seorang karakter dalam salah satu film, tuliskan kisah hidupmu dari sudut pandang tersebut"

Fanfic The Raid:

Miracle

Mini van berwarna hitam yang kunaiki ini tengah melaju menembus jalan yang dilanda hujan. Di dalamnya terdapat diriku dan sepasukan tentara SWAT yang merupakan teman-teman sejawatku. Kali ini kami hendak menjalankan sebuah misi penyerbuan ke sebuah gedung tua di tengah kota. Kabarnya di gedung itu merupakan markas sebuah gembong besar narkoba yang bahkan polisi-polisi enggan mengusik keberadaannya.

"Dengar, target kita kali ini adalah Tama," Sersan Jaka memulai briefing singkat di dalam mobil, "menurut info yang didapat, dia berada di lantai teratas gedung yang akan kita serbu nanti. Ingat, buat penyerbuan kita semulus mungkin, minimalisir kontak fisik, dan jangan sampai ada korban dari warga sipil!"

"Tapi, pak, kenapa kita? Kenapa hari ini?" Tanya Rama, teman sekamarku.

"Kenapa enggak?" Ujar Bowo sinis. "Gua juga boleh dong nanya kayak gitu.."

Entah kenapa dari awal kami memulai latihan di barak, dua orang ini tak pernah akur. Dengar-dengar sih dulu Rama pernah menolak saat Bowo mau menembaknya. Eh, ini latihan menembak betulan lho, dengan pistol angin. Bukan menembak dalam tanda kutip.

Ah, kembali ke misi, Sersan Jaka terus menerangkan strategi menyerang. Menurutnya langkah yang baik adalah dengan menjalankan Stealth Mode alias menyerang secara diam-diam tanpa menimbulkan keributan. Oke, terlihat mudah, lagipula di misi pertamaku ini, aku kebagian sebagai penyerang paling belakang. Yang melindungi para penyerang dari depan.

Tapi beberapa saat sebelum sampai ke lokasi, perutku berkecamuk. Mulas sekali. Ckiit, mobil pun berhenti, kami semua turun. Aku segera mencari batu kerikil untuk menghilangkan rasa mulas, yeah, mitos ini sepertinya masih berlaku sampai sekarang.

Sersan Jaka segera memberikan kode-kode tangan kepada kami, formasi penyerangan pun terbentuk. Tak berapa lama, kami meringsek ke dalam gedung. Satu per satu penghuni gedung yang mencoba menghadang berhasil dilumpuhkan. Semua lancar, hingga pasukan kami terlihat oleh seorang anak yang baru saja keluar dari toilet (Euh, gara-gara mendengar kata toilet perutku jadi berkecamuk lagi nih). Si anak tadi berlari ke ruangan di dalam dan berteriak, "Ada polisi!" Dan, dooor, anak itu tertembak oleh salah satu teman kami yang panik.

Sontak, keadaan berubah menjadi hening. Terdengar beberapa warga (yang kebanyakan merupakan pengedar dan pemakai narkoba) berlari ke arah kami, mencoba menyerang kami. Ditambah lagi, dengan adanya suara dari pengeras suara yang mengatakan kalau siapa saja penghuni gedung yang bisa membunuh kami, maka akan bebas membayar uang sewa selama setahun. Setelah itu keadaan makin kacau.

Hujan tembakan dari kubu kami dan kubu warga mulai terjadi. Aku juga tak mau tinggal diam, kutembaki mereka dengan membabi buta. Gawat, bukannya jumlah mereka habis, malah terlihat tambah banyak saja. Saat kondisi terdesak itu, Sersan Jaka menyuruh kami masuk ke sebuah kamar. Aku pun mengikutinya beserta Rama, Sersan Wahyu, Bowo, dan lainnya.

Temanku bernama Jaya mencoba mengintip dari jendela, untuk melihat keadaan di luar.

"Jaya, jauhi jendela!" Teriakku, teringat pelajaran tentang menghadapi kondisi perang yang mengatakan, 'hindari tempat yang mudah terlihat oleh musuh.'

Dan benar saja, beberapa saat aku berteriak, Jaya tertembak peluru tepat di mata kirinya.

"Rama, segera cari jalan keluar!" Perintah Sersan Jaka.

Kulihat Rama menginjak-nginjakkan kakinya ke lantai gedung, ketika mendengar suara lantainya bergaung, dia meminta sebuah kapak. Dia pun menghujamkan kapak ke lantai itu, hingga berlubang. Setelahnya kulihat Sersan Jaka melompat ke bawah melalui lubang itu, dilanjut dengan Bowo, Rama, Dagu, Sersan Wahyu, kemudian Aku.

Wah, ternyata di bawah sini sudah banyak warga yang mencegat. Mau tak mau konfrontasi kembali terjadi. Kami saling menyerang, memukul, menendang, bahkan menembakkan pistol kami. Meskipun kami sudah berusaha mempertahankan diri, jumlah warga yang menyerang tak kunjung habis. Sehingga lagi-lagi Rama berinisiatif untuk membuat bom kecil dengan menggunakan tabung gas, yang dimasukkan ke dalam kulkas dan diarahkan ke pintu. Beberapa saat kemudian tabung itu meledak, meluluhlantakkan ruangan kami dan ruangan di luar kami.

Untungnya, dari pihak kami tak ada yang terluka parah. Hanya saja kabar buruknya, aku telah kehilangan batu kecil yang kupegang sedari awal. Sontak gejolak di perutku kembali terasa. Bagaimana ini? Mana misi masih berjalan pula. Aduh, mau bagaimana lagi, aku pun berlari ke toilet terdekat. Sedangkan Rama dan yang lain pergi menuju ruangan lain, dan sepertinya mereka kembali dikejar oleh musuh.

Di toilet, dengan tergesa-geda kubuka celanaku dan segera saja dengan latar belakang suara tembakan dan hantaman dari luar, kubuat latar belakang suara di sini dengan berbunyi, "bretbetbetbetbet, plung, plung.."

Ah, lega sekali rasanya setelah kukeluarkan segala kegundahanku di toilet ini. Namun entah kenapa rasa mulas di perutku masih saja menjadi-jadi, hingga akhirnya aku masih berusaha mengeluarkan tenagaku agar semua isi dalam perutku bisa keluar. Salahku juga sih, kemarin pas makan siang, sambelnya kebanyakan. Ah, tak ada gunanya merutuk, lebih baik kukumpulkan tenagaku dan mengeden sekuat-kuatnya.

-----------------

Beberapa jam kemudian, aku terbangun. Ya ampun, ternyata aku ketiduran di toilet duduknya, saking capeknya mengeluarkan tenaga. Kubilas dulu semuanya kemudian kupakai celanaku dan aku keluar dari toilet itu.

Kondisi gedung terlihat berantakan, banyak mayat juga bergeletakan di lorongnta. Aku bergidik ngeri. Akupun mengambil sebuah pistol yang tergeletak untuk jaga-jaga. Kemudian kulangkahkan kakiku ke dekat tangga. Ketika terdengar suara langkah turun dari tangga itu, aku segera bersembunyi di bawah tangganya. Posisi senjataku pun sudah siap menembak apabila orang yang turun itu adalah musuh. Tapi begitu senangnya aku karena orang yang turun itu adalah Rama, Sersan Wahyu beserta Bowo dan seorang lagi yang tak kukenal.

"Rama! Bowo!" Teriakku.

"Abay? Lo berhasil selamat juga?"

"Iya, setelah aku berjuang melawan semua rintangan. Ngomong-ngomong, bagaimana soal misi kita?"

"Udah selesai. Kita bisa keluar sekarang, kenalkan, dia Andi, abangku yang menjadi polisi yang menyamar di sini, dia lah yang telah menyelamatkan kami.."

"Tama bagaimana?"

"Mokat!" Ujar Bowo. "Ama si cecunguk sialan alias Sersan Wahyu, yang bikin misi tak resmi ini."

"Ah, ya sudahlah, kalian bisa saling bercerita ketika kalian sudah keluar nanti, karena polisi atau anak buah Reza sebentar lagi pasti akan tiba di sini.." kata Andi. "Ayo, kuantarkan kalian keluar!"

Sesampainya di luar, kulihat Rama saling berbicara dengan kakaknya. Rama ingin kakaknya pulang tapi sang kakak rupanya sudah kadung terjebak di dunia hitam sehingga memilih untuk tinggal. Dan kami pun keluar dari pintu gerbang gedung itu.

Ya, hanya kami berempat yang selamat dari misi ini. Tapi, kurasa ini masih belum selesai. Atasan Tama pasti akan tetap mengejar kami meskipun kami telah keluar hidup-hidup. Aku pun hanya bisa berdoa kepada sang Pencipta, semoga aku diberi kekuatan untuk menghadapi segala hal yang akan kuhadapi nanti, dan semoga tetap terjadi keajaiban yang bisa membuatku selamat, aman, dan sentausa sampai akhir. Amin

No comments: