Showing posts with label Fanfic Harry Potter. Show all posts
Showing posts with label Fanfic Harry Potter. Show all posts

Saturday, June 22, 2019

Fanfic: Jika Hogwarts Berada di Indonesia: Jilid 2


Yuhuu, berhubung tantangan kali ini tuh fanfic, maka gw yang lagi rada buntu nulis hal yang berbau fanfic pun mulai nyari-nyari inspirasi dengan baca-baca fanfic koleksi gw jaman breto bin jaman dulu dan mendapati bahwa gw pernah nulis sebuah fanfic yang berandai-andai Jika Hogwarts Berada di Indonesia. Jadi di fanfic jilid 1 itu gw nulis soal gimana kalo budaya ngaret di Indonesia tuh kejadian di dunia Harpot sana. Nah, dari situ gw pun terinspirasi buat lanjutin tulisannya soalnya dulu di bagian NB-nya gw sempet bilang kalo bakalan bikin fanfic berseries dari tema ini, tapi nyatanya hanya angan belaka. Haha.. Yowis lah, di tantangan ini mari kita wujudin angan-angan gw dulu. XD

Jika Hogwarts Berada di Indonesia: Jilid 2

#30harimenulis2019_hari_20
854 kata

Setting: Tahun Pertama Harry Potter
Rating :  Semua Umur
Disclaimer: Semua tokoh dan seting tempat kepunyaan Mamih JK Rowling


“Seseorang bernama Neville Longbottom menghilangkan kodok peliharaannya, apa diantara kalian ada yang melihat?”

Harry dan Ron langsung berpandangan ketika seorang perempuan dengan rambut cokelat bergelombang masuk ke dalam kompartemen mereka di kereta Hogwarts Express.

“Ka, kami tidak melihat apapun, iya ‘kan, Harry?” Ron kelihatan salah tingkah dan malu-malu. Harry hanya mengangguk meng-iyakan.

“Tunggu dulu, kau Harry Potter?” perempuan tadi terperangah seakan baru saja menemui idolanya. “Err, berarti kau punya luka itu ‘kan?”

“Tentu saja,” jawab Harry seraya mengangkat poni rambut yang menghalangi dahinya untuk memperlihatkan luka petir yang menurut Hagrid dia peroleh dari sihir gagal Lord Voldemort ketika dia masih bayi. Entah kenapa dunia sihir begitu takjub dengan luka petir itu, makanya Harry selalu menyembunyikannya di balik poni agar dia menghindari kejadian seperti yang terjadi sekarang ini.

“Wow! Bocah yang bertahan hidup! Perkenalkan, namaku Hermione Granger!” Sambil memperkenalkan diri, tangannya langsung bersalaman dengan Harry. Setelah itu dia melirik ke arah anak berambut merah di sebelahnya. “And you are? Namamu?”

“Ron. Ron Weasley.”

“Salam kenal kalau begitu! Ngomong-ngomong Harry, apa ini tahun pertamamu juga di Hogwarts?” tanya si perempuan bernama Hermione itu, tanpa menggubris Ron.

“I, iya. Ini tahun pertamaku,” jawab Harry. “Memangnya kenapa?”

Hermione tersenyum. Kemudian membuka buku yang sedari tadi dia peluk di depan dadanya.

“Lihat, Harry,” Hermione menunjuk ke gambar sebuah kastil dengan pemandangan indah di sekitarnya. “Ini adalah Sekolah Sihir Hogwarts tempat yang kita akan tuju sekarang. Indah sekali ‘kan? Pasti kau baru lihat ya? Makanya baca buku Sejarah Hogwarts ini dong! Sebelum berangkat, aku sudah membaca ulang sampai 3 kali lho. Hehe.”

Harry yang  memang baru melihat penampakan Sekolah Sihir Hogwarts pun langsung berdecak kagum.

“Keren sekali!” gumamnya.

“Nah, di depan Hogwarts ini ‘kan ada danau besar tuh. Menurut buku ini, untuk murid tahun pertama masuk Hogwarts-nya dengan naik perahu sambil melintasi danau itu lho!” Mata Harry semakin berbinar-binar mendengar penjelasan Hermione.

“Eh, tapi tunggu dulu, bukannya..”

“Satu perahu biasanya berisi 6 anak,” papar Hermione lagi-lagi tanpa memedulikan Ron yang hendak angkat bicara. “Setiap anak juga nantinya dibekali sebuah lampion untuk menerangi perahunya.”

“Terus, yang mendayung perahunya siapa?” Harry makin tertarik.

“Tenang saja, perahu ini melaju dengan sendirinya menggunakan sihir. Jadi kita hanya perlu duduk diam saja di atasnya ...”

“Tunggu, Hermione, apa kau tidak deng-“

“Tapi ingat ya, Harry,” Hermione memotong perkataan Ron lagi, “jangan pernah memasukkan tanganmu ke dalam air danau. Karena kabarnya danau itu diisi banyak makhluk-makhluk air yang buas!”

“Siap! Nanti kita naik satu perahu ya, Hermione,” ucap Harry terlihat senang dan tidak sabar merasakan sensasi pertamanya melintasi danau Hogwarts.

“OK, kalau begitu aku akan kembali ke kompartemenku dulu, sampai ketemu lagi!” Hermione langsung keluar meninggalkan Harry yang masih tersenyum senang dan Ron yang kelihatan kikuk seperti akan mengatakan sesuatu.

“Perhatian kepada penumpang Hogwarts Express, sebentar lagi kereta akan sampai di Stasiun Hogsmeade, segera kenakan pakaian Hogwarts dan perhatikan barang bawaan kalian di saat keluar nanti ...”

-=-=-=-=-=-=-=-=-=-

TUUUT... TUUUUUUUT! Suara dari Hogwarts Express begitu menggema saat kereta itu sampai di Stasiun Hogsmeade. Murid-murid Sekolah Sihir Hogwarts pun turun satu per satu.

“Tahun pertama kumpul di sini, Tahun pertama kumpul di sini!” teriak sosok pria besar berjanggut tebal dan memegang lampion di sebelah barat stasiun. Harry, Ron, Hermione, beserta anak tahun pertama yang lain pun berkumpul di dekat pria itu. “Selamat datang di Hogwarts, anak-anak! Namaku Rubeus Hagrid, dan aku yang akan mengantar kalian menuju Aula Besar.”

Yes, sekarang momennya nih!” cicit Harry senang sambil menoleh ke arah Hermione.

“Kita akan menyeberangi danau Hogwarts dengan menggunakan perahu,” Hagrid menjelaskan, “Silakan bentuk kelompok masing-masing 6 orang, dan ambil lampion untuk penerangannya juga. Lalu silakan antri di depan dermaga danau.”

Harry, Ron, dan Hermione tentu saja langsung menjadi satu kelompok, ditambah tiga anak lainnya yang bernama Neville, Seamus, dan Dean. Saat mengantri di dermaga,  Harry merasa tidak sabar untuk segera naik ke perahu dan masuk ke Sekolah Sihir Hogwarts untuk pertama kalinya. Bibirnya tak henti-hentinya merekah memamerkan senyuman saking senangnya. Hingga akhirnya tiba giliran mereka untuk naik ke perahu.

“Hup,” Hagrid mengangkat tubuh Harry ke atas perahu. “Ok, perahu sudah penuh. Hati-hati ya, jangan masukkan tangan kalian ke dalam danau! Dan jangan lupa tutupi hidung kalian dengan masker.”

“Tunggu, tutupi hidung dengan masker?” Hermione bingung. Kemudian dia melirik ke arah Ron, Neville, dan Seamus yang sudah menggunakan masker. “Jangan-jangan ...”

“HOEK!” Harry jadi anak pertama yang muntah, diikuti oleh Dean dan Hermione.

“Kalian keturunan muggle ya?” tanya Seamus.

“Yeah, dan aku sedari di kereta tadi sudah mau memperingatkan mereka kalau danau sekarang sudah tercemar oleh sampah dan limbah warga. Sehingga aroma baunya menyengat, tapi selalu saja perkataanku dipotong!” kata Ron sambil mendelik ke arah Hermione. “Tuh lihat, bangkai ikan pun sampai mengambang di permukaannya. Hiiy!”

Harry yang mualnya sudah agak berkurang langsung menutupi hidungnya dengan syal yang dia pakai. Euh, semua ekspektasi perjalanan melintasi danau nan indah serta ditemani angin sepoi-sepoi menyejukkan pun sirna sudah. Berganti dengan perjuangan menahan mual dan rutukan keluar dari mulut mungilnya itu.

Harry sungguh tak percaya. Betapa jahat sekali mereka yang telah mencemari danau ini. Apa mereka tidak tahu bahwa ‘Kebersihan adalah sebagian dari iman’? Euh, terserahlah, yang pasti sekarang yang ada di pikiran Harry, dia ingin segera sampai ke daratan secepat mungkin.

Selesai


 Nah kan, nah kan. Kurang lebih begitulah Jika Hogwarts berada di Indonesia. Danau Hogwarts yang seharusnya bersih pun jadi tercemar oleh sampah. Makanya atuh, budayakan buang sampah pada tempatnya ya. Sayangi bumi kita. XD

Monday, August 7, 2017

Snape Day: Veritaserum(?)

Fandom: Harry Potter
Setting: Tahun ke-5 Harry Potter
Disclaimer: Semua universe dari mamih JK Rowling
Genre: Komedi Parodi
Rating: PG

-=-=-=-=-=-=-=-=-

Veritaserum(?)

Perkenalkan namaku Snape, Severus Snape. Ah, tapi kuyakin semua sudah mengenalku. Siapa yang tak kenal dengan guru ramuan terseksi yang pernah ada di Hogwarts? Jujur saja, sebenarnya aku pun tak menyangka akan se-terkenal ini setelah mengajar di sekolah sihir itu. Makanya tak usah heran juga kalau banyak yang merasa iri padaku dan membenciku, padahal aku tak pernah sekalipun menyiksa mereka. Ng, tapi menyiksa batin mereka mungkin sering. Contohnya saja, si kecil Potter itu yang sering menjadi korban siksaan batinku. Entah kenapa kami sangat tidak akur. Dia sangat membenciku dari pertama kali kita bertemu. Apa dia iri melihat rambutku yang rapi ini ya? Tak usah diragukan lagi sih, ramuan untuk rambut hasil buatanku ini memang bisa membuat rambut lepek menjadi berminyak rapi a la agen-agen ganda di dunia muggle.

Oh iya, aku belum menceritakan bahwa aku itu seorang agen ganda juga ya? Ini semua gara-gara Dumbledore, gaji untuk mengajar di Hogwarts kecil sekali. Jadilah selain mengajar di Hogwarts, sekalian saja aku berjualan ramuan rambut buatanku ini yang kuberi nama ‘Snap-poo’ atau singkatan dari ‘Snape Shampoo’. Hasilnya lumayan lha, sudah ada pelanggan tetap, seperti murid kesayanganku Draco Malfoy. Lihat saja, rambutnya bisa rapi diklimis ke belakang gara-gara memakai ramuanku, pastinya.

Ah, sudah cukup perkenalannya. Nanti juga bakal tahu siapa aku lebih dalam jika bertanya kepada orang sekitar. Sekali lagi kuberitahu, aku ini sangat tenar. Bahkan, tak kalah tenar dari si bocah yang bertahan hidup itu.



Dan sekarang, aku sedang berada di kelasku. Menunggu murid-muridku masuk untuk mengajarkan pada mereka bagaimana cara membuat ramuan yang baik dan benar. Atau mungkin untuk kebanyakan murid di sini, mengajarkan cara untuk membuat kuali dan sendok pengaduk mereka tetap utuh sampai pelajaran selesai.

“Simpan tongkat kalian!” perintahku saat semua murid sudah berkumpul. “Tak perlu menggunakan benda itu jika belajar di kelasku..” Aku berhenti sejenak, kemudian melirik kaget ke arah Vincent Crabbe, teman satu genk Malfoy. “Tongkat saja tak boleh, apalagi cangkul, Crabbe!!”

Lalu, aku berbalik memunggungi murid-muridku dan berjalan dengan gaya sekeren mungkin. Barangkali nanti ada yang ngefans gara-gara melihat goyangan pantatku saat berjalan.

“Kali ini kita akan belajar bagaimana membuat ramuan kejujuran atau siapa yang tahu apa sebutannya?”

Seharusnya aku tak usah menantang murid-muridku untuk menjawabnya, karena sudah pasti yang mengangkat tangannya adalah si Nona-Tahu-Segala, Hermione Granger, bahkan kalau kutanya soal nomor togel apa yang keluar besok pun aku yakin dia bakal tahu.

Tapi seperti biasa, aku pun akan mendiamkannya, tak peduli seberapa lama pun dia mengangkat tangannya. Bukan karena aku membencinya, tapi justru karena aku suka sekali dengannya, err, maksudku dengan sensasi bau bulu keteknya. Tak pernah aku mencium bau seperti itu, bau yang sangat klasik. Aku pun tahu alasan mengapa baunya bisa begitu, saat aku me-legilimens Harry, ketahuanlah kalau gadis itu ternyata sangat suka masakan eksotik dari Indonesia, salah satunya nasi goreng petay dan semur jengkol.

“Sir, aku, Sir!”

Dia masih saja mengangkat tangannya dan berteriak dengan semangat. Akhirnya setelah aku puas mencium baunya dan tak ada alasan untuk melama-lamakan lagi, aku pun menjawab dengan setenang mungkin, “Ya?”

“Sebutan lainnya adalah ramuan veritaserum, satu tetes dari ramuan itu bisa langsung membuat orang lain berkata jujur - sejujur-jujurnya saat ditanya apapun. Beberapa minggu lalu juga aku pernah membuat ramuan itu dan setelah selesai langsung kuuji-cobakan pada kucingku dan saat kutanya apakah kucingku pernah mengambil ikan asin dari bekalku, dia mengangguk! Untung saja dia seorang kucing atau kneazle tepatnya, jadi perbuatannya bisa kumaafkan. Hehe..”

“Hmm, 5 poin untuk Gryffindor,” kataku, membuatnya menganga tak percaya, jujur saja, aku memang tak pernah memberikan poin tambahan untuk asrama singa itu. Masalah pribadi tentunya. Tapi sebelum mereka merasa terlalu senang, aku pun menambahkan, “Dan 10 poin dari Gryffindor, karena curhatan tak jelasnya!” Err, sebetulnya alasan utamanya bukan itu sih, tapi karena aku takut kejahatanku terkuak, soalnya aku-lah yang menyuruh kucingnya untuk mengambil ikan asin milik gadis itu (lama-lama aku makin terobsesi padanya saja). Oh ya, tak usah dipikirkan bagaimana aku bisa menyuruh binatang tersebut okay! Ini dunia sihir, ingat?

“Ramuan veritaserum terbuat dari campuran air beras ditambah dengan sedikit jahe dan kunyit, lalu tak lupa menambahkan madu sebagai pemanis. Ah, rasanya aku tak perlu menjelaskan begitu detail karena semuanya tertulis dalam buku,” paparku, “Yang pasti proses terakhir dari pembuatan ramuan ini adalah kalian harus mendiamkannya selama satu fase bulan, sampai si ramuan itu menjadi bening tak berwarna. Kita tak mungkin membuatnya sampai sejauh itu, sehingga yang akan kita praktekkan di sini hanya sampai fase perubahan warna ramuan menjadi warna putih kekentalan, dimana efek minumannya menjadi sebaliknya, orang yang meminum akan menjadi pintar berbohong. Jadi, tunggu apalagi? Buat ramuan itu sekarang juga!”

Kuperhatikan satu per satu muridku dengan seksama. Dimulai dari Mr Longbottom yang menampakkan wajah ketakutan saat kutatap. Ekspresinya itu seperti sedang melihat vampir pembunuh saja, padahal kalaupun aku vampir, aku bakal setampan vampir vegetarian yang baru-baru ini sedang terkenal. Selanjutnya aku melihat Draco Malfoy, yang terlihat dengan tenang mengerjakan ramuannya. Bibirnya tersenyum sedikit ketika dia tahu aku sedang memerhatikannya. Euh, benar-benar mirip ketika aku masih sekolah dulu, paling bedanya hanya di warna rambut, bola mata, bentuk hidung, dan pipi saja (Ups, kok jadi banyak bedanya ya?). Lalu kulihat wajah si Potter itu, rasa benci seketika tercium dalam auranya. Ok, mungkin lain kali aku berikan ramuan rambutku ini kepadanya gratis, agar dia tidak iri padaku lagi, sehingga rambutnya bisa dirapikan. Terakhir, aku melihatnya lagi, gadis cantik berambut cokelat dan bergelombang, Hermione Granger. Wajahnya terlihat agak kerepotan dan sedikit bersemu merah ketika kudekati. Apa sebenernya dia juga… Ah, mungkin hanya perasaanku saja. Tak mungkin dia menyukaiku, apalagi aku ini gurunya yang walaupun keren tetapi terpaut beda umur sekitar 10 tahunan (itu pun setelah tenggatnya didiskon 50 %). Tapi mungkin sebentar lagi kita akan tahu jawabannya.


“Waktu habis! Letakkan sendok pengaduk kalian! Biar kuperiksa satu per satu hasil racikan kalian,” ujarku dengan lantang nan tegas, membuat beberapa murid terlonjak kaget. Eh, tapi mungkin bukan kaget karena teriakanku, melainkan karena suara ledakan dari kuali Seamus Finnigan. Lagian mana mungkin suara lembut nan merduku bisa mengagetkan mereka.

Kuperhatikan setiap kuali murid-murid di depanku dan sesekali aku berjengit ketika mencium bau aneh yang menguar dari dalam salah satu kuali mereka. Contohnya saja kuali milik Goyle ini, dari dalam ramuannya tercium bau kaki yang sangat memekakkan telinga, ups, maksudku sangat menyiksa hidungku. Aku yakin saat dia membuat ramuan, dia tak sengaja mencelupkan jempol tangannya ke dalam kuali. Ckckck, bau jempol tangannya saja sudah bau jempol kaki, apalagi bau jempol kakinya? Sungguh tak terbayangkan!

Namun, tentu saja bukan hanya ramuan Goyle yang hasil akhirnya sangat buruk. Malahan bisa dibilang hampir semuanya. Apa aku bilang hampir? Pastinya. Karena lagi-lagi, gadis itu menarik perhatianku. Hanya dia-lah yang bisa menyelesaikan ramuannya dengan sempurna. Err, tidak sempurna seratus persen juga sih, karena ramuannya belum berwarna putih kekentalan, tetapi hanya sampai berwarna kuning cerah. Sungguh, kepintarannya hampir sama seperti Lily!

Aku tersenyum, berusaha menampakkan senyum sekeji mungkin, walaupun aku yakin hasilnya tetap seperti senyuman seorang model. Kemudian, aku mengambil tongkatku yang langsung kugerakkan dengan lembut dan penuh perasaan. Segelas air pun melayang menuju meja di depanku dan, hup, mendarat lembut di--, err, kepala Weasley. “Ah, gelas pun tahu bahwa jidatmu itu selebar tatakan!” ledekku, membuat dia marah dan meletakkan gelasnya dengan kasar ke atas meja. Samar-samar aku juga mendengar dia bergumam, “Lebih baik jidat lebar daripada rambut licinmu, yang biasa dipakai maen perosotan oleh para kutu..” Tapi kudiamkan saja. Biasalah, sama seperti si Potter, dia hanya iri pada rambutku.

Sambil tetap tak memedulikan yang lain, aku memasukkan beberapa tetes ramuan ke dalam gelas dan mengaduk-ngaduknya sebentar agar bisa tercampur sempurna. Aku melirik ke dalam genangan air di gelas untuk mengecek lagi. Bukan untuk mengecek ramuannya sih, tapi untuk bercermin dan mengecek apa penampilanku masih sekeren saat aku masuk kelas.

“Minum itu!” tegasku, memberi perintah kepada Miss Granger. “Sekarang kita tes khasiat ramuan buatanmu, seharusnya setelah kau minum itu, kau akan selalu berkata bohong ketika kutanya. Dan tenang saja, jika ada efek samping seperti tumbuhnya janggut di bawah matamu atau hal lainnya, aku yang akan bertanggung jawab dan mengurusnya.”

Terlihat gadis itu menelan ludahnya sebentar, mungkin masih belum yakin dengan apa yang kukatakan tadi. Padahal aku benar-benar mengatakan itu dengan sungguh-sungguh. Bahkan jika dia batuk atau wajahnya berubah menjadi hijau sedikit saja, aku akan langsung membantunya. Err, mungkin dengan menyemburkan air ke mukanya setelah membaca doa terlebih dahulu. Kata orang tua dulu hal itu sangat manjur untuk pengobatan dan pertolongan pertama.

Glup.. Glup.. Glup..

Dia meminum sampai habis air yang ada dalam gelas. Doyan apa haus ya? Ah, sudahlah. Yang penting sekarang aku harus mengetes kejuju-, maksudku, kebohongannya. Aku menatapnya dengan tatapan eksotis, kemudian berkata, “Hmm, bagus. Sekarang mari kita mulai tesnya. Pertanyaan pertama, apakah kau membenciku?”

“Aku.. tidak, maksudku, memang sih anda sering membuatku kesal. Tapi tidak, aku tidak membenci anda!” jawabnya lancar.

“Yeah, seharusnya Hermione memang berkata seperti itu,” timpal Harry, yang langsung disetujui Ron. “Ucapannya tadi bohong, kan? Berarti aslinya dia membenci anda, sir!”

Aku hanya tersenyum. Untuk kali ini saja aku bisa mengabaikan segala tindakan dan ucapan si Potter itu. Anggap saja, tadi itu hanya suara kentut yang agak panjang.

“Kalau begitu, untuk pertanyaan berikutnya, siapakah guru favoritmu?”

Hermione terdiam, seperti sedang memikirkan jawabannya.

“Aku suka sekali pelajaran Arithmancy..” dia terdiam lagi. “tetapi aku tak begitu suka cara mengajar Profesor Vector yang terkesan agak lambat, sehingga membuatnya mirip Kyai-kyai yang sedang berceramah. Hehe..” lanjutnya. “Aku juga menyukai Hagrid, tetapi cara mengajarnya parah! Jadi aku menyukainya hanya karena menghormatinya dan menganggapnya sebagai teman. Jadi kalau ditanya siapa guru favorit saya, tentu saja jawabannya adalah anda, sir!”

Yak, itulah jawaban yang ingin kudengar dari mulutnya dan mungkin oleh kedua sahabatnya. Maka yang kulakukan saat mendengarnya tentu saja tersenyum lagi, yang kuyakin jika ada panitia kontes senyum yang melihatnya, bakal langsung memberi nilai terbaik untuk senyumanku. Gilderoy Lockhart? Lewaat! Hmm, cukup bahasan soal senyumanku. Sekarang kita kembali untuk mengetes ramuan itu lagi.

“Pertanyaan terakhir, apakah kau menyukaiku dengan sepenuh hati?”

Terdengar suara kikikan dari beberapa anak Gryffindor, karena hampir dapat dipastikan jawabannya adalah ‘iya’, tapi benarkah jawabannya seperti itu?

“Eh? Pertanyaan macam apa itu?” herannya Hermione malah berkata seperti. “Bagaimana mungkin aku memfavoritkan seorang guru tanpa menyukainya? Yeah, tentu saja aku menyukaimu. Dengan sepenuh jiwa dan raga!”

Fyuh, lega sekali mendengar jawabannya. Akhirnya sudah jelas lha apa perasaanku terhadapnya itu bertepuk sebelah tangan atau tidak? Tapi baru saja aku berlega-lega sesaat, Harry langsung menimpali, “Bagus, berarti kau masih normal, Hermione!”

“Yeah, untung saja ini adalah ramuan kebohongan! Hahaha..” Ron menambahkan, dari wajahnya terlihat senang sekali.

Aku mendelik ke arah mereka, sambil berkata “Kalau begitu kuberi 20 poin untuk keberhasilan ramuan Miss Granger dan 50 poin dari Gryffindor karena wajah Mr Weasley dan Mr Potter merusak pemandangan di kelasku.” Haha, senang rasanya melihat wajah kesal kedua anak itu. Emang enak punya wajah jelek?

“Kalau begitu kelas selesai sampai di sini. PR untuk kalian, buatlah essai tentang veritaserum buatan toko dan buatanku! Sedikit bocoran, yang banyak memuji ramuanku akan mendapat nilai lebih!”

Usai aku berkata seperti itu, satu per satu murid langsung meninggalkan kelas. Tak terkecuali Hermione yang keluar dengan wajah bersemu merah. Eh, apakah sebetulnya dia tahu ya kalau yang kumasukkan ke dalam gelas adalah ramuan veritaserum asli? Yang pasti sekarang hatiku sangat bahagia. Ternyata dia juga suka padaku! Dua tahun lagi, yeah, dua tahun lagi setelah kau lulus, aku pasti akan langsung melamarmu, Hermione! Kujamin setelah kita menikah, menu makanan kita tiap hari adalah semur jengkol!

Tamat


-=-=-==-=-

NB: Fanfic ini repost dari koleksi FF gw di FFn. Mudah-mudahan masih bisa menghibur.. 

Saturday, April 16, 2016

Fanfic: Sepulang Sekolah versi Hogwarts

Horee, akhirnya gw bisa nyelesein fanfic pertama gw di tahun ini. Setelah sekian lama absen nulis FF, bukan berarti gw ngilangin passion nulis gw lho. Cuman emang paling gampang kalo gw nyalahin keterbatasan waktu, yeah, semua karena kesibukan di dunia nyata (padahal alesan aslinya males doang, tok! Haha). Sebenernya kepikiran nulis fanfic dengan fandom HarPot ini juga karena gw tiba-tiba dapet ide setelah nonton Vlog 'Sepulang Sekolah'  buatan salah satu fans gw pas sekolah dulu (mr Bonx-Q) beserta gengnya *sok diidolain* *narsis mode: max*. So, terbersitlah ide untuk menggabungkan kedua fandom itu, jadi karakter utamanya ngambil dari 'Sepulang Sekolah' series, sedangkan settingnya ngambil Potter-verse. Gimana hasilnya? Lets cekidot..

Btw, demi kenyamanan bersama, dan supaya nyambung ama cerita gw dan karakterisasi tokoh, ada baiknya buat para pembaca buat nongton vlognya dulu dah, eh, tapi mudah-mudahan buat yang tau HarPot doang juga bisa nyambung ya! << penulisnya ababil. Ahaahaha..

---------------------------------------


Fandom : Harry Potter >< Sepulang Sekolah Series
Genre : Humor
Disclaimer : JK ROWLING, Sepulang Sekolah Cast n Crew
Timeline : Tahun ke-3 pemeran utama
Rating : Semua Umur


Sepulang Sekolah versi Hogwarts


“Oi, Jui!” teriak seorang siswa Hogwarts bertubuh tinggi namun berperawakan biasa plus nasib yang luar biasa biasa *pemborosan kata #Eh* ketika dia masuk ke salah satu pub yang berada di Hogsmeade. Kala itu memang merupakan hari kunjungan siswa Hogwarts ke salah satu desa sihir yang masih eksis di Inggris Raya.

Temannya yang merasa dipanggil hanya membalas dengan melambaikan tangannya saja, lalu memberikan kode kepada siswa tadi untuk duduk di sebelahnya dengan mengedip-ngedipkan genit matanya.

“Buset, Koi!” kata siswa bertubuh gempal berambut keriting bernama Jui. “Lama amat si lo, kemana aje sih? Gua udah ampir lumutan nih nunggu lo di sini, mana gua rada parno juga, soalnya di sini pengunjungnya meskipun dikit tapi pada berpenampilan aneh..”

“Nah, makanya gua ngajakin lo ngumpul di sini.. Biar lo berasa kayak di rumah..” jawab Koi, sambil melirak-lirik ke sekitarnya..

“Maksud lo?” Jui terlihat tersinggung. “Biar gua kayak balik ke alam gua gitu?”

“Eh, enggak Jui, becanda – walau sedikit jujur.. Hehe..” kilah Koi saat melihat Jui terlihat siap memukulnya. “Gua milih tempat ini karena di sini sepi, jadi gua bisa bebas curhat ama lo nih. Hiks..”

“Tunggu dulu, tunggu dulu.. Sebelum lo curhat, jawab dulu pertanyaan gua tadi, lo kenapa bisa telat sampe sini?”

“Oh tadi itu gua..”

“Permisi, ada yang mau dipesan?” tiba-tiba omongan Koi terpotong oleh pelayan sekaligus pemilik pub Hog’s Head yang memiliki jenggot seperti kambing bernama Aberforth. “Kalau tidak ada, silakan mengobrol di tempat lain saja..”

Koi yang merasa kalimatnya terpotong langsung menengadahkan kepalanya kepada sang pemilik pub, mencoba mengintimidasi dengan memicingkan matanya, tapi sepertinya dia sadar, dia kalah seram. Akhirnya dia melihat ke atas meja di depan mereka, lalu melirik Jui, “Jadi dari tadi lo belum pesen apa-apa, Jui? Pantes aje atuh yang punya rada keki.”

Jui yang ditanya hanya tersenyum lemah, kemudian berbisik kepada Koi, “iya, kayak gak tau aja lo, Koi, duit gua abis buat beli ginian..  Ramuan Cinta.. Kali aja manjur.. Hehe..”

“Yassalam, Jui!” ujar Koi tak percaya. “Ya udah, sir, saya pesan Butterbeer 1 gelas ya.. Lo mau juga gak? Tapi entar bagi dikit ya ramuannya..”

“Ga usah, Koi, segelas aja.. Segelas berdua biar lebih romantis. Hehehe..” kilah Jui sambil memeluk erat belanjaannya, takut diminta si Koi.

“Jadi satu gelas Butterbeer saja?” tanya Aberforth lagi, dengan memasang wajah masam.

“Iya, satu saja, terima kasih..” Jui yang menjawab.

Aberforth pun meninggalkan meja dari sepasang makhluk ajaib di depannya, Mungkin di dalam hatinya dia menggerutu, ‘Kok masih ada ya, pelanggan sejenis mereka, jadi pengen nyumbang!’

Dan sepeninggal Aberforth, Jui kembali bertanya kepada Koi, “Emang lo tadi telat abis ngapain sih?”

“Tadi itu gua disuruh ama Prof Hagrid buat nganterin bahan ramuan ‘Bejo- bejo’ apa gitu ke Prof Slughorn makanya jadi rada lama ke sini.”

“Oh, Bezoar?” tebak Jui, mulai menampakkan ke-sok-pintarannya.

“Iya kali ya..”

“Ya jelaslah itu Bezoar.. Bentuknya bulat-bulat kecil, diambil dari dalam perut kambing.. Terbentuk dari segala makanan yang mengendap di saluran pencernaan kambing sehingga menjadi batu.”

“Hoo, gitu.. Terus gunanya buat apaan?”

“Pertanyaan bagus..” Jui semakin bergaya seperti guru yang sedang menjelaskan pelajaran ke muridnya. “Bezoar tuh berguna sebagai penawar untuk hampir segala jenis racun dari yang skala biasa sampe yang mematikan, coy. Cara pakenya juga gampang, cukup buat korban menelan langsung Bezoarnya udah deh. Tapi Bezoar juga sering dijadiin sebagai salah satu bahan ramuan juga, emang kayaknya bakalan lebih ampuh kalo dicampurin tambahan bahan lain juga kali ya..”

Seraya mencoba mencerna segala penjelasan dari Jui, pikiran Koi melayang, matanya malah fokus melihat Aberforth yang baru datang membawa satu gelas Butterbeer pesanan mereka di gelas yang kotor. Kemudian dia juga memperhatikan Aberforth yang telah meninggalkan meja mereka lagi sedang menebarkan sejenis racun tikus di pojok-pojokan ruangan. Namun betapa herannya si Koi, karena dia masih mendengar suara tikus-tikus berseliweran di atas langit-langitnya. Koi pun baru ingat, kalau Aberforth memelihara kambing, dia pun bergumam dalam hati, ‘Hmm, jangan-jangan tikus-tikusnya masih banyak karena pas mereka mamam racun, mereka langsung makan bezoar yang berceceran di kandang kambing juga..’

“Koi, oi, Koi.. Ngarti kagak? Malah bengong..” ujar Jui, rada keki karena merasa ocehannya dianggurin.

”Iya, gua ngarti. Tapi emangnya ada bukti kemanjuran obatnya gitu? Kan jaman sekarang mah No pic – hoax, eh, untuk kasus ini mah no bukti – hoax!” kata si Koi sambil sok kekinian.

“Buset dah, Koi.. Catatan tentang khasiat Bezoar kan ada di buku ramuan lo, ketauan banget ga pernah dibaca! Lagian, emangnya lo ga pernah denger kalo dulu legenda dunia sihir kita, Harry Potter, pernah nyelametin sahabatnya yang kena racun salah sasaran..”

“Harry Potter? Kayak pernah denger..”

“Waduh, Harry Potter juga ga tau?” Si Koi cuma geleng-geleng kepala, Jui makin kaget. “Emang sih lo dari keturunan muggle, tapi kan lo tinggal baca di buku Sejarah Sihir aja yang nyeritain kisah-kisah masa lalu..”

“Euleuh, sori, Jui.. Gua udah move on, jadi ga mau bahas masa lalu lagi..” ucap Koi ngeyel.

“Serah lo dah..” Jui terlihat keki, sampai tiba-tiba..

“Jui, Koi.. Wah, ada di sini juga?” sapa Bryan, kakak kelas Jui dan Koi yang terkenal rese, bodinya yang besar bak preman pasar memang membuat dia ditakuti di seantero Hogwarts. “Kok kalian malah bengong, bukannya nyapa balik?”

“Ha, halo, Bray (panggilan Bryan)!” ucap Koi.

“Kok lo bisa di sini, Bray?” tanya Jui sok asik kepada Bryan.

“Oh, tadi gua abis ketemuan ama babeh gua, tuh itu tuh yang di luar, yang pake mukena motif warna-warni. Dia nganterin uang jajan gua yang udah abis.. Hehe..” jawab Bryan, sambil menunjuk ke luar, tak berapa lama ayahnya langsung berdisapparate. Mau tak mau Jui dan Koi jadi berpikiran yang ‘iya-iya’ deh, masak anaknya nyeremin gini, ayahnya pake mukena warna-warni. Tapi emang sih, pengunjung di Hog’s Head tampilannya beneran aneh-aneh. “Eh, ini Butterbeer siapa? Kok belum diminum? Gua aus nih, abisan babeh gua ga ngebeliin gua..”

“I-itu, punya gua.. Sok aja kalo mau mah..” ujar Koi pasrah daripada nanti dia kenapa-kenapa.

“Seriusan, Koi! Gua abisin yak,”  Bryan pun langsung saja menenggak habis minuman di depannya hingga tak bersisa. “Aah, makasih, Koi.. Seger banget.. Udah ya gua cao du.. lu..”

GEDEBUM!

Bukan, itu bukan suara gajah terjatuh, apalagi suara bom Hiroshima (meskipun mirip sih), tapi itu suara Bryan yang jatuh pingsan di depan Jui dan Koi setelah menghabiskan minuman tadi. Posisi jatuhnya telentang, matanya terpejam, tapi badannya gerak-gerak kejang dan dari mulutnya keluar busa. Jui yang panik langsung berteriak-teriak minta tolong, sementara Koi malah berlari keluar.

“Ada apa ini? Ada apa?” tanya Aberforth ikutan panik.
“Ini, Sir, dia pingsan lalu kejang-kejang setelah meminum ramuan cinta, eh, butterbeer di meja kami..” jawab Jui, sambil menunjuk ke gelas butterbeer yang kosong.

“Ah, masa sih? Sebentar coba yah..” Usai berkata seperti itu, Aberforth berjalan menuju dapur yang Jui kira dia sedang mengambil obat, eh, ternyata, “Hmm, pantesan dia keracunan, ternyata butterbeernya sudah kadaluarsa dari setahun lalu. Padahal saya kira baru lewat seminggu..”

Jui pun menepuk jidatnya karena tak percaya. “Ya udah, sir, sekarang ada obatnya ga? Daripada nanti keburu kecium media, terus tersebarlah headline ‘Siswa Hogwarts tewas karena Sianida’, hayo!”

“Wah benar juga, udah mah tempat ini sepi, nanti tambah sepi dong ya! Hmm, sebentar, sepertinya ada sih obatnya, eh, tapi kayaknya udah kadaluarsa juga..” Aberforth makin terlihat kebingungan.

“Tenang sodara-sodara!” tiba-tiba sosok Koi sudah ada di depan mereka, berlagak seperti pahlawan kesiangan sambil memegang sesuatu yang berbentuk bulat di tangan kanannya yang terangkat ke depan. “Gua udah bawa penawar racunnya..”

“Jangan-jangan itu...”  Jui mencoba menebak bahwa yang dibawa oleh Koi itu Bezoar, tapi belum sempat dia menyelesaikan kalimatnya, Koi sudah mengangguk-ngangguk dengan sok cool. “Ya udah, Koi, buru masukin ke mulutnya!”

Dengan semangat 45, Koi langsung memasukkan benda yang dipegangnya ke dalam mulut Bryan. Kemudian dia meminta air putih kepada Aberforth supaya semakin gampang tertelan. Dan hebatnya, tak perlu waktu berapa lama, obatnya langsung bereaksi. Bryan pun terbangun, dan tiba-tiba memuntahkan semua yang ada di perutnya ke lantai. Jui dan Koi pun hanya bisa saling pandang, tak menyangka apa yang sedari tadi mereka bahas, bisa jadi berguna.

-=-=-=-=-=-=-=-=-==-=-=-=-=-=-=-

Esoknya sepulang sekolah dari pelajaran terakhir mereka, Jui dan Koi mencoba bersantai-santai di pinggir danau Hogwarts. Mereka pun membahas kembali kejadian yang mereka alami kemarin di Hog’s Head.

“Eh, Koi, berkat lo nyelametin si Bryan kemaren, sekarang dia ga pernah macem-macem ke kita lagi lho. Hebat euy..” puji Jui kepada sahabatnya.

“Ah, itu juga kan berkat pelajaran singkat dari lo, Jui, makanya gua jadi tau tentang Bezoar..” Koi balik memuji, kemudian keduanya cengegesan.

“Tapi seriusan lho, Koi, lo bisa dapet Bezoarnya dimana?” Jui penasaran.

“Jui, Jui, elo boleh pinter, tapi tetep soal bakat detektif, gua jagonya. Masa elo gak ngeliat sih kalo di sebelah Hog’s Head itu kandang kambing..”

“Oh itu kandang kambing, gua kira kandang Babi, soalnya kan logo restorannya pala babi!”

“Ckckck.. Nah, kan di situ banyak banget dah tuh Bezoar yang bulet-bulet kecil, ya udah gua ambil aja deh tuh satu, yang udah keliatan kering..” kata Koi dengan penuh percaya diri.

Namun bukannya membuat Jui takjub, Jui malah melongo tak percaya, “Buahahaaaaa, udah gua duga!”

“Apaan sih, Jui? Itu beneran Bezoar kan?”

“Itu mah cuma kotoran kambing biasa atuh, Koi, buahahahaa! Bezoar mah susah ngambilnya, karena batunya ngendap di perut kambing, harus digodet dulu perutnya. Buahaha..” Jui makin puas tertawa, ketika tahu selama ini temannya salah sangka tentang bezoar.

“Eh, yang bener, kali aja kan batu yang ngendapnya ga sengaja keluar dan nyatu ama kotorannya. Lagian, kok si Bryan tetep selamet?” si Koi masih tetep ga terima ama teori si Jui.

“Ya, gimana ga selamet, orang dia langsung muntah abis makan e’o kambing.. Racunnya keluar di muntahannya semua lah.. Hahaha..”

“Hmm, masuk akal juga..”

“Hahaha, Koi, Koi, gua kira elo udah naek derajat dikit kepinterannya, ternyata sama aja..”

“Ah, biarin dah.. Yang penting si Bryan sekarang udah ga pernah rese lagi ke kita kan..”

“Anjrit, Koi, gua.. sakit.. perut.. Huahahaha..”

“Diem, Jui, dieem! Gua juga jadi pengen ketawa kan ngebayanginnya. Ahaha..”

Dan selama sore itu mereka terus saja tak berhenti tertawa karena kepikiran kejadian ‘bezoar kw’ kemarin. Mereka pun tak hentinya mengucap syukur karena efek ‘bezoar kw’-nya tidak menambah parah efek keracunan dan malah menyelamatkan nyawa temannya. Tambah lagi sekarang mereka sudah bebas bully. And here it goes, seperti cerita dongeng lainnya, Jui dan Koi pun happily ever and after.

The End ^_^

-----------------------------------


Gimana? Garing kan? As usual itu sih.. Hehe.. Ya udin, daripada mengkel dalam hati, silakan komentari fanficnya di kolom komen di bawah ye... Btw, nuhun udah meluangkan waktu buat baca tulisan di atas. Yu dadah, babay..

Link Fp nya Sepulang Sekolah nih:
Just click the image

Thursday, June 4, 2015

#30hariMenulis hari ke-4: Heri Punten is back

Well, sebenernya fanfic ini teh niatnya buat challenge pas hari bahasa yang diadain ama Ambu, tapi berhubung pada saat itu kesibukan (dan kemalesan) melanda, hanya bisa menjadi draft doang. Tapi untunglah berkat event #30hariMenulis yang challenge di hari ke-4 harus menulis fanfic yang menggunakan karakter film, fanfic Harry Potter (yang gada Harry Potter-nya) ini bisa kelar. Btw, buat yang baru baca fanfic Heri Punten, masih ada fanfic sebelumnya yang bercerita tentang dia lho! Tapi tenang, kalopun belum baca yang sebelum-sebelumnya, fanfic si Heri Punten ini tetep bisa dibaca, karena antara satu cerita dan yang lain tetep berdiri sendiri. :D

So, lets cekidot yo!

-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-

Rebo Nyunda

Heri Punten –siswa muslim satu-satunya di Hogwarts- sedang termenung. Dia sedang memikirkan bagaimana kabar keluarganya di Bogor. Maklum, di liburan tahun baru sekarang ini dia tidak bisa pulang ke sana, dan hanya bisa menghabiskan liburan tahun baruan ini bersama ibunya saja di Inggris. Eit, inget lho, Heri mah ngehabisin liburan tahun baruan, bukan merayakan, karena tahun baru Islam mah ada di 1 Muharram alias pake kalender Qomariyah.

“Mom..” panggil Heri kepada ibunya ketika mereka sedang berjalan-jalan di taman sekitar komplek tempat tinggal mereka yang serba putih karena salju (NB: pas pertama liat ada salju, si Heri kumpulin saljunya terus dikasih sirup lho! Dia kira es serut kali ya!)  “Ari surat balesan ti si Daddy tos aya?”

Ceu Lili, ibunda Heri langsung menengok ke arah Heri dan berkata, “Teu acan da. Paling ngke weungi geura. Soalna ayeuna ujan saljuna keur tebel sih, Buweuk-na pasti nyasar.  Oh iyah, ulah nyaur nganggo Mom atau Daddy deui ah, asa teu raos ngadanguna, tetep nyaur Umi jeung Bapa weh nya! Da urang mah tinggal di lembur batur ge tetep tuangna ala Sunda, teu tuang nganggo roti jeung kejo kos bule-bule!”

“Siap, Umi!” balas Heri sambil tersenyum. Padahal dia mah emang sengaja manggil ibunya dengan sebutan itu, buat ngegodain ibunya yang tidak suka dipanggil ala bule. Hihi, dasar Heri!


Jam demi jam terus bergulir, tak terasa waktu malam telah tiba. Dan benar saja seperti perkiraan Ceu Lili, jendela kamar Heri ada yang ngetuk-ngetuk, tanda si buweuk atau burung hantu yang mengantar surat dari kang James (tetep baca Ja-Mes yah!) alias Ayah Heri sudah datang. Langsung saja Heri mengambil cermin di dekatnya, setelah memastikan dirinya tetap tampan seperti biasa, dia pun membuka jendela. Si burung hantu segera melesak masuk setelah jendela terbuka, dia ber-uhu-uhu kesal karena Heri malah bernarsis ria sebelum membiarkannya masuk, seakan mau bilang, ‘Di luar teh tiris nyaho!’. Heri yang sadar dengan tingkah polah hewan itu langsung memberinya kain sarung yang biasa dia pakai untuk tidur, lalu memberinya biskuit. Mungkin, saking capek plus Heri kebanyakan memberi biskuit dan juga karena kain sarungnya bau hangseur (pesing), si burung hantu pingsan, eh, tertidur.

Heri pun mengambil surat di kaki burung yang bernama Wakwaw itu, dia buka amplopnya kemudian dia membaca isinya:

‘Assalamu’alaykum, anak bapa anu kasep –kos bapana-,

Punteun pisan nya, Heri teu tiasa uwih kadieu di liburan ayeuna, maklum weh nya, bapa ge teu pere keur kamari ge, lembur terus euy. Tapi tenang we, ieu bapa kirimkeun poto-poto ti baraya di Bogor, sadayana ge kangen pisan ka Heri ceunah. Oh, muhun, bapa oge kirimkeun ramuan ti si Mbah Dalem, ceunah mah ramuan na paranti nu kangen ka kampung halaman. Tinggal campurkeun ramuanna ka kaemaman di sakola Heri weh geura. Dijamin engke Heri ngarasa keur aya di kampung.

Atos kitu weh nya ti bapa, salam ka Propesor Dumbledore, tenang, bapa tos ijin ka anjeunna soal ramuan eta, terus bapa nitip kirimkeun resep ieu paragi peri rumah di Hogwarts oge nya. Nuhun.

Bapa Heri nu ganteng tea,
Ja-mes’

Heri tersenyum setelah beres membaca surat dari ayahnya itu. Apalagi ketika melihat foto-foto keluarganya yang sedang ‘cucurak’ di Kebun Raya Bogor, untung saja Heri meminjamkan kamera sihir kepada ayahnya, sehingga keluarganya yang ada di foto sekarang sedang melambai-lambaikan tangannya kepada Heri. ‘Duh, bikin tambah kangen wae atuh ieu mah..’ batin Heri.

-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-

Liburan musim dingin pun usai, Heri dan semua murid telah berada di sekolah Hogwarts lagi. Dan tentu saja, hal pertama yang Heri lakukan pas dia sampai di Hogwarts adalah memanggil Dobby sang Peri Rumah, yang berhutang budi padanya karena telah membuatnya merdeka dari perbudakan. Walaupun sebenernya itu juga karena ga sengaja. Jadi waktu itu teh si Heri lagi ngorong alias ngupil sambil jalan ke ruangan Kepala Sekolah. Nah, pas Heri berhasil mendapatkan upilnya, dia bulet-buletin dulu terus dia sentil upilnya. Eh, tak dinyana, keluar Mr Malfoy dari ruang Kepsek, dan si upil pun menempel di ujung hidungnya. Karena merasa jijik (lebih tepatnya jaim, kalau ga ada orang mungkin upilnya udah dia makan), Mr Malfoy menyentil upil itu, dan si upil mental ke arah Dobby di sebelahnya. Dobby yang merasa telah diberi hadiah oleh sang majikan, merasa dia telah dibebaskan. Jadinya, sampai sekarang, dia selalu mau menuruti perintah Heri, apalagi kalau Heri sudah memberi dia bonus upil galian barunya lagi, karena Dobby suka rasanya, asin-asin kecut gitu katanya.

Balik lagi ke Heri, Heri memanggil-manggil Dobby di dapur Hogwarts tempat dia sekarang bekerja, “Dobby, wer ar yu? Dimana silaing teh?”

Tak berapa lama, terdengar suara dari belakang Heri, rupanya Dobby ber-Apparate di situ.

“Wilujeung Weungi, kang Heri Punten, Sir!” sapa Dobby. Oh iya, saking ngefansnya Dobby kepada Heri, dia sampai belajar bahasa Sunda, agar terasa lebih akrab dengannya. “Aya kaperluan naon, akang nyaur abdi?”

“Ieu, Dobby, pangnyampurkeun ramuan ieu ka kaemaman nu bade disajikeun enjing di aula besar, nya? Terus, ieu resep kaemamanna. Tenang, Propesor Dumbledore ge tos ngijinan sadayana da..”

“Sumuhun, kang, siap! Dobby mah lamun Propesor Dumbledore can ngijinan oge, tetep bakal ngalakukeun parentah ti kang Heri Punten, Sir!” cicit Dobby terlihat serius. “Atos kitu wae parentahna?”

“Iyah, atos kitu we, nuhun nya..”

TAR. Dobby ber-Disapparate lagi, dan Heri pun kembali ke kamarnya untuk beristirahat agar bisa memulai pelajaran esok hari dengan kondisi yang fit.

-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-

Esok paginya Heri terbangun, mengucek-ngucek matanya sebentar lalu mengambil kacamatanya. Dia melirik ke kanan, ranjang Ron telah kosong. Heri kangen ama sahabatnya itu, tapi kemaren pas dia datang, Ron sudah tidur, eh, sekarang malah ga ada. Heri melirik jam tangannya, dan dia pun sadar kenapa Ron sudah tidak ada di ranjang, dia bangun kesiangan, mana pelajaran pertama mereka Ramuan yang 5 menit lagi akan dimulai. Heri segera merapikan ranjangnya, mengganti bajunya, kemudian mengambil segelas air putih untuk dia minum. Eh, bukan untuk diminum, tapi dia ambil air untuk dia kepretin ke mukanya, biar keliatan seger. Setelah itu dia pun berlari keluar, berharap bisa tepat waktu tiba di kelas Ramuan.

Heri berlari terus sepanjang koridor Hogwarts, menuruni anak tangga untuk sampai ke ruang bawah tanah tempat kelas Ramuan berada. Akhirnya dia pun sampai di depan kelas yang sayangnya pintunya telah tertutup yang artinya Prof Snape sudah berada di dalam kelas. Memang dasar nasib Heri, padahal telatnya hanya 1 menit 3 detik. Heri pun membuka pintu, dan betapa kagetnya dia saat masuk ke kelas itu, karena rupanya kelas dipakai oleh angkatan tahun ke-4, bukan angkatan Heri. Heri baru ingat, mereka kan pulang dari liburan itu hari Selasa, jadi sekarang itu hari Rabu, bukan Senin, jadi seharusnya pelajaran pertama dia adalah Herbologi.

Semua mata pun memandang Heri (sepenglihatan Heri sih pada memandang sambil berbinar-binar, saking kerennya Heri kali ya?), tak terkecuali Prof Snape. Dan akhirnya, Heri harus terkaget-kaget lagi saat Prof Snape berkata, “Mr Punten, ari silaing teh ngalindur? Pake salah asup kelas kadieu? Cik atuh sibeungeut heula, eta belek ge masih ayaan. Makana tos Sholat Subuh teh ulah sare deui, apa malah labas teu Sholat Subuh?”

Heri tercenung. Prof Snape berbahasa Sunda? Terus cara Prof Snape memarahi Heri juga mengingatkan Heri dengan guru ngajinya di kampung kalo lagi marah.

“Mr Punten! Kunaon malah ngajentung hungkul di dinya? Geura ka kelasna nu bener ditu.. Saencan pak guru mutuskeun ngadetensi maneh!”

“Eh, iyah, Prop, punteun pisan nya.. Maap!” balas Heri, lalu dia berbalik pergi, dan terus berlari menuju kelas Herbologi. Dalam pikirannya Heri masih merasa bingung, ‘Kok tiasa nya, Propesor Snape teh nganggo basa Sunda?’

-=--=--=-=

Tak terasa sudah jam makan siang. Pelajaran pertama Heri selesai. Beberapa saat Heri masih tercenung. Dia masih memikirkan soal Prof Snape berbahasa Sunda, bukan itu saja dia pun tambah kaget ketika Prof Sprout mengajar Herbologi dengan bahasa Sunda juga. Bahkan, semua teman Heri juga berbicara bahasa Sunda.

“Beuh, buset, tadi palajaran Herbologi meuni rieut euy. Mana tugasna kudu nyieun essai sapanjang 30 senti!” keluh Ron ketika mereka berjalan ke Aula Besar.

“Ah, maneh mah emang teu merhatikeun nu diajarkeun tadi weh. Tadi Prof Sprout kan tos nerangkeun meuni jentre pisan. Terus tinggal milarian tambahan bahanna di perpustakaan we eta mah..” timpal Hermione, yang seperti biasa menjadi  ‘Neng Nyaho Sagala’ alias ‘Miss Know-It-All’.

“Huu, engke urang nyonto ka essai maneh weh nya, Hermione! Hehe..” kata Ron dibalas dengan tatapan tak percaya dari Hermione. “Eh, he-eh, Heri.. Naha titadi maneh cicing wae euy? Nyeuri huntu sugan? Apa sariawan?”

Benar juga. Heri yang sedari tadi masih belum bisa menerima keadaan sekolahnya yang full nyunda jadi agak pendiem. Heri masih syok, meskipun dalam batinnya yang terdalam dia merasa senang sekali karena suasana di Hogwarts jadi mirip dengan ketika dia bersekolah di SD-nya dahulu.

“Hoi, Heri! Malahan ngahuleung maneh mah!” seru Ron lagi.

“Uh, oh, maap. Tadi Heri kapikiran pemotretan pas liburan kamari. Tos diterbitkeun can nya majalahna?” kilah Heri.

“Ah elah, jadi model iklan panu hungkul ge, nu kacetak ge bagian tonggongna doang pan? Haha..”

Heri tertawa, kemudian menjitak kepala Ron.

“Ngomong-ngomong, Ron, Hermione, aranjeunna nyadar teu ti keur enjing nyariosna nganggo basa Sunda?” akhirnya Heri menanyakan pertanyaan yang mengganjal pikirannya sedari pagi.

“Basa Sunda?” Hermione terlihat bingung. “Titadi pun abdi mah nyariosna basa Inggris kos biasa ah. Ngan Heri hungkul anu nimpalan nganggo basa Sunda, tapi da urang-urang mah tos ngarti sakedik-sakedik naon nu dicarioskeun ku Heri..”

“Si Heri beneran masih ngalindur sigana yeuh. Tadi isuk oge pan ampe salah asup ka kelas Ramuan. Ajib, nya, kakarak asup sakola deui geus meunang panglarisan Snape nu ngambeuk.”

“Terus, weh, Ron, terus.. Meuni resep pisan nya ningali Heri tersiksa.. Sungguh ter.. la.. lu.. Awas weh, engke moal ditambutkeun deui kaset Nining Maida.”

“Ih, kitu si Heri mah pundungan, maap atuh, nya.. Terus ayeuna weh atuh minjeum kaset Nining Maida-na, mumpung ayeuna urang geus boga walkman nu tos dimodif ku babeh urang.”

“Ya, ya, ya..”

Dan heri pun masih bingung. Jadi sebetulnya mereka sadarnya itu masih berbicara dengan bahasa Inggris? Tapi yang Heri dengar adalah bahasa Sunda. Hmm, yowislah, apapun itu Heri merasa tentram dengan segala dialog berbasa Sunda yang dilontarkan oleh teman-temannya bahkan oleh gurunya sekalipun. Membuat Heri merasa berada di kampung halaman.

Tring. Tiba-tiba Heri jadi keingetan dengan surat yang dikirim oleh ayahnya. Kemarin kan ayahnya itu mengirim ramuan untuk yang sedang rindu kampung halaman. Jangan-jangan fungsi ramuan itu adalah seperti yang sekarang terjadi, membuat semuanya seakan berbahasa sesuai bahasa kampung halaman Heri. Dobby juga sepertinya sudah sukses menyampurkan ramuannya di makanan yang disajikan ketika sarapan. ‘Bener-bener, aya-aya wae si bapa teh,’ batin Heri sambil tersenyum setelah menyadari semua yang terjadi. Akhirnya, setelah dia mengetahui apa yang sedang terjadi sekarang, dia semakin rileks dan memanjakan diri dengan bercengkrama bersama teman-temannya yang berbahasa Sunda juga.

-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-

Semua pelajaran di hari itu telah usai, perut Heri mulai keroncongan, sindenan, bahkan dangdutan. Sekarang saatnya makan malem di aula besar. By the way, sepertinya efek ramuan dari ayah Heri sudah mulai pudar, karena sekarang sudah kembali pada ngomong Inggris lagi. Tapi tak apalah, meskipun efeknya hanya setengah hari tapi cukup membuat perasaan kangen terhadap kampung halaman Heri terobati. Eit, tapi tunggu dulu, sepertinya kejutan dari Ayah Heri belum usai, karena ketika Heri masuk aula besar, makanan yang tersaji adalah makanan-makanan sunda semua. Ada kerecek oncom, pepes gurame, bakakak hayam, semur jengkol, sayur aseum, lauk asin, tahu dikecapan, tempe orek, dan ada sambel terasinya juga plus lalapannya! Lagi-lagi, ini pasti sesuai resep yang diberikan ayahnya dan resep itu sukses diterapkan oleh Dobby juga.

Murid-murid Hogwarts yang baru melihat makanan khas Sunda ini masih belum ada yang menyentuh piring di dekatnya. Mungkin mereka masih belum tahu bagaimana enaknya makanan ini. Alhasil, mau tak mau Heri yang mesti duluan menciduk makanan yang ada di meja panjang aula besar itu. Dengan lahap dia makan semua makanan yang tersaji, kemudian dia pun menatap ke arah Ron dan Hermione yang terlihat masih ragu, lalu berucap, “Subhanallah, nikmat mana yang engkau dustakan! Ajiiiib! Yuk ah gabung!”

Ron dan Hermione berpandang-pandangan sesaat, kemudian mereka duduk di dekat Heri dan mulai menyantap makanan yang berada di depan mereka. Di suapan pertama, mata mereka langsung berbinar saking enaknya, kemudian dengan semangat menyendok suapan lainnya. Akhirnya setelah melihat trio Heri, Ron, Hermione yang begitu lahap menyantap makanan yang tersaji itu, murid yang lain pun ikut tergoda dan merasakan hasrat kepuasan yang sama seperti Heri. Bahkan, Heri pun sempat mendengar Draco Malfoy bergumam, “Ajiiib!” kepada Crabbe dan Goyle.

Wih, pokoknya beneran deh, hari ini surprise dari ayahnya dapet banget. Full dengan feeling kampung halaman. Yah, meskipun hanya sehari, tapi sukses berat membuat kegalauan Heri hilang seketika. ‘Nuhun pisan nya, pa.. Pokona mah Sunda Rocks! Keluarga Punten Rocks oge!’

Tamat

NB: Nanti subtitle dialognya menyusul yak. Soalnya udah keburu deadline. Hahaha.. And dont forget to leave your comment. Teng kiyu.