#30harimenulis2019_hari_28
437 kata
“Bunuh dia, cepat! Bunuh sekarang
juga!” perintah pacarku dari dalam kamar kosannya.
“Tapi, sayang, aku tidak tega!”
aku berkilah, kugelengkan kepalaku kuat-kuat. “Aku sungguh tidak bisa!”
“ Ini juga ‘kan gara-gara
perbuatanmu, cepatlah tanggung jawab. Segera bunuh dia! Ini, gunakan ini!” titahnya
lagi sambil menyodorkan sepatu merahnya yang berhak tinggi dan lancip. “Aku
sudah tak tahan lagi dengan penderitaan ini. Cepat lakukan!”
Dengan enggan, kuterima sepatu
yang dia sodorkan dengan tangan kananku. Sedangkan tangan kiriku
kugunakan untuk mencengkeram bahunya. “Diam, jangan bergerak, kalau
tidak aku tak akan bisa tepat sasaran!”
Tubuh pacarku seketika mematung, keringatnya
terlihat bercucuran dari keningnya, dia sudah tidak sabar menungguku untuk melakukan
aksi keji yang kubenci ini. Kuangkat tangan kananku yang memegang sepatu tinggi-tinggi,
“Satu, dua, ...”
“Kyaa!”
Belum saja aku memukulkan sepatu
itu, tubuhnya malah meronta-ronta hebat sehingga cengkeraman tanganku lepas
darinya.
“Aduh, sepertinya aku merasakan
gerakan kakinya di perutku, seperti sedang menendang-nendang!” wajah cantiknya
terlihat panik dan kesal, kedua tangannya memukul-mukul perutnya. “Kamu sih,
sudah kubilang ‘kan untuk selalu buang di luar, jangan malah di dalam!”
“Ya, maaf. Namanya juga khilaf!
Lain kali tidak akan kulakukan lagi deh, janji,” sesalku.
“Sudah, sudah, aku tak mau
mendengarkan ocehanmu itu sekarang, karena yang lebih penting, kamu harus bunuh
makhluk ini! Nih, aku sudah memegang perutku, kujamin dia akan tidak akan
bergerak lagi, sehingga kau bebas melaksanakan misimu.”
Aduh, harus bagaimana ini?
Pikiran dalam kepalaku berkecamuk. Apa yang harus kulakukan? Membunuh adalah
salah satu hal yang paling tidak bisa kulakukan olehku, dan mungkin tidak bisa
dilakukan juga oleh sebagian besar orang. Apalagi yang akan jadi korbannya itu
makhluk tidak berdosa yang sebetulnya memiliki hak hidup seperti yang lain
juga.
“Deni! Beyb!” teriakannya menyadarkan lamunanku. “Buruan ih, bunuh sekarang!”
“Aduh, Lina sayang, aku beneran
tidak bisa melakukannya. Sungguh tidak tega. Bagaimana kalau kamu saja yang
melakukannya?”
“Huh, dasar laki-laki tidak
bertanggung jawab!” Lina makin kesal. “Padahal ini semua gara-gara kamu tidak
mengeluarkan bekas kopimu dari dalam kamar, makanya banyak kecoa mengerubunginya
sampai serangga itu terbang dan hinggap di tubuhku! Aku ‘kan jijik.”
“Sekali lagi maaf ya, say..”
ucapku tulus. “Tapi sepertinya berkat kamu menggenggam erat kain baju di bagian
perutmu itu, si kecoaknya sudah kepejret
sampai mati. Fyuh, syukurlah aku tidak jadi mengotori tanganku dengan perbuatan
keji itu. Kamu memang hebat, sayang!”
“Kyaaaa!” Lina yang baru sadar
kalau kecoak yang menggerayangi tubuhnya sudah mati di tangannya langsung
jejeritan. Tubuhnya langsung meronta-ronta sambil meloncat-loncat saking panik
dan jijik. “Deni, awas ya! Pokoknya janji lain kali kalau ada sisa makanan atau
minuman langsung buang ke luar! Terus, buruan belikan aku baju baru, untuk
mengganti baju yang sudah terkena darah kecoak ini. Kyaa!”
“Hahaha, iya, iya, aku janji!”