Terlambat
#30harimenulis_hari_13
651 kata
Saat kubuka pintu ruangan itu,
bau apak menguar di udara. Tak aneh, karena sang penghuni ruangan ini, ayah
tiriku, sudah meninggal sebulan lalu. Herannya, hanya aku yang mau membersihkan
kamar baunya ini. Padahal dibanding anak-anak kandungnya, aku adalah anak yang
paling diasingkan olehnya.
Entahlah. Biarpun di luar ayah
tiriku seperti membenciku, tetapi dalam lubuk hatinya aku merasa dia ingin
mencoba untuk berdamai denganku dan ingin memperlakukanku seperti anaknya yang
lain. Tapi mungkin itu hanya firasatku saja, karena pada kenyataannya aku tetap
tidak digubris olehnya, apalagi setelah ibuku meninggal 2 tahun lalu. Jadi aku
dan dia hanya mengobrol jika ada hal penting saja.
“Uhuk, uhuk!”
Debu dari kasur tempat tidur
kamar ini beterbangan saat aku menggebuknya dengan raket nyamuk. Kubuka jendela
agar udara kotornya itu bisa keluar. Setelah itu kutepuk-tepuk bantal serta
gulingnya.
“Uhuk,” lagi-lagi aku terbatuk,
padahal mulutku sudah kututup dengan masker. Duh, lagian kenapa sih aku mau
saja mengajukan diri untuk melakukan ini? Memang sih hanya aku yang perempuan
dan paling sulung, paling bisa diandalkan, tapi ‘kan ...
Tiba-tiba kenangan buruk dengan
ayah tiriku terungkit lagi di pikiranku. Yaitu ketika tahun lalu, saat aku
mengenalkan pria yang ingin menjalani hubungan serius denganku. Tanpa alasan
yang jelas, niatan itu langsung ditolak mentah-mentah oleh ayah. Padahal aku sudah
ikutan memohon-mohon padanya untuk merestui hubungan kami. Tetapi dirinya tetap
bergeming. Alhasil, beberapa hari kemudian hubunganku dan pasangan pun harus
kandas karenanya. Saat itu pula, aku sudah tidak mau lagi berbicara sepatah
kata pun dengan ayah tiriku. Bahkan untuk sekedar bertatap mata pun aku enggan.
Hingga akhirnya bulan lalu, waktu
aku bekerja di luar kota, kudengar kabar bahwa dirinya meninggal dunia. Seharusnya
aku merasa lega mendengar berita tersebut. Lega karena sudah tak ada ganjalan lagi
di dalam hidupku dan sudah tak ada lagi yang mengganggu kedamaian batinku.
Tetapi entah kenapa, separuh hatiku ini merasa sedih, sampai tak terasa air
mata sudah membasahi pipi.
Huft, sudahlah. Yang lalu biarlah
berlalu. Sekarang mari kita fokus bersih-bersih lagi. Lumayan-lah bagian
ranjang pun sudah beres kurapikan. Sekarang tinggal membersihkan lemari beserta
isinya. Bagian ini paling mudah sih, karena aku tinggal mengeluarkan pakaian di
dalamnya dan memasukkannya ke dalam kantong plastik besar yang sudah kusiapkan
ini. Rencananya pakaian-pakaian ini akan disumbangkan kepada yang membutuhkan.
BRAK! Suara dentaman keras itu
membuatku terlonjak. Rupanya saat mengeluarkan isi dari lemari, lacinya tersangkut
ke salah satu baju dan tertarik sampai jatuh. Tak banyak benda yang berserakan
akibat jatuhnya laci itu. Hanya ada foto lama ayah dan ibuku, sebuah pulpen,
dan selembar foto wisudaku ukuran 6R yang bertuliskan pesan di belakangnya. Dari
bentuk tulisannya, sepertinya itu tulisan ayah.
Dengan penuh penasaran, aku pun
membacanya:
Nina, maafkan ayahmu ini.
Maafkan aku, karena selama ini aku tidak memperlakukanmu dengan baik.
Padahal jujur saja, cintaku padamu tidak berbeda seperti aku mencintai
ibu dan adik-adikmu.
Tetapi entah kenapa setiap melihat wajahmu, aku selalu teringat dengan
wajah ayah biologismu yang tega membuang ibumu di saat mengandung. Gara-gara
itu malah kau yang jadi kena imbas kemarahanku.
Tadinya aku akan mencoba berdamai dengan kebencianku, tetapi kau sudah tidak
mau berbicara denganku atau menatap mataku lagi ya?
Apa gara-gara aku menolak lamaran si playboy itu? Iya, Nina, pria yang
kau bawa waktu itu sering kulihat jalan dengan perempuan lain. Bahkan si Inem
pelayan kita pernah dipacarinya. Makanya kutolak dia, tapi sepertinya kau salah
sangka. Salahku juga sih tidak mau memberikan alasannya. Padahal aku hanya
ingin menjagamu dari hal yang tidak baik.
Apapun itu yang pasti, aku benar-benar ingin meminta maaf padamu.
Semoga saja sebelum ajalku menjemput, aku bisa berbicara denganmu lagi,
dan mungkin bisa menjadi wali nikahmu saat kau menemukan calon yang lebih baik.
Atau kalaupun tidak, semoga kau bisa membaca curahan hatiku di secarik
foto ini.
Salam hangat,
Ayah
Sudah kuduga. Selama ini aku
telah salah sangka kepada ayah tiriku. Dasar bodoh! Kau juga ayah, kenapa hal
ini tidak kau katakan dari dulu! Huh, kalau sekarang sudah terlambat ‘kan? Tiba-tiba
air mata keluar dari sudut mataku. Hmm, sepertinya aku kelilipan debu.
Sekian
No comments:
Post a Comment