Sunday, June 30, 2019

Cerpen: Bunuh Dia!


#30harimenulis2019_hari_28
437 kata


“Bunuh dia, cepat! Bunuh sekarang juga!” perintah pacarku dari dalam kamar kosannya.

“Tapi, sayang, aku tidak tega!” aku berkilah, kugelengkan kepalaku kuat-kuat. “Aku sungguh tidak bisa!”

“ Ini juga ‘kan gara-gara perbuatanmu, cepatlah tanggung jawab. Segera bunuh dia! Ini, gunakan ini!” titahnya lagi sambil menyodorkan sepatu merahnya yang berhak tinggi dan lancip. “Aku sudah tak tahan lagi dengan penderitaan ini. Cepat lakukan!”

Dengan enggan, kuterima sepatu yang dia sodorkan dengan tangan kananku. Sedangkan  tangan kiriku  kugunakan untuk mencengkeram bahunya. “Diam, jangan bergerak, kalau tidak aku tak akan bisa tepat sasaran!”

Tubuh pacarku seketika mematung, keringatnya terlihat bercucuran dari keningnya, dia sudah tidak sabar menungguku untuk melakukan aksi keji yang kubenci ini. Kuangkat tangan kananku yang memegang sepatu tinggi-tinggi, “Satu, dua, ...”

“Kyaa!”

Belum saja aku memukulkan sepatu itu, tubuhnya malah meronta-ronta hebat sehingga cengkeraman tanganku lepas darinya.

“Aduh, sepertinya aku merasakan gerakan kakinya di perutku, seperti sedang menendang-nendang!” wajah cantiknya terlihat panik dan kesal, kedua tangannya memukul-mukul perutnya. “Kamu sih, sudah kubilang ‘kan untuk selalu buang di luar, jangan malah di dalam!”

“Ya, maaf. Namanya juga khilaf! Lain kali tidak akan kulakukan lagi deh, janji,” sesalku.

“Sudah, sudah, aku tak mau mendengarkan ocehanmu itu sekarang, karena yang lebih penting, kamu harus bunuh makhluk ini! Nih, aku sudah memegang perutku, kujamin dia akan tidak akan bergerak lagi, sehingga kau bebas melaksanakan misimu.”

Aduh, harus bagaimana ini? Pikiran dalam kepalaku berkecamuk. Apa yang harus kulakukan? Membunuh adalah salah satu hal yang paling tidak bisa kulakukan olehku, dan mungkin tidak bisa dilakukan juga oleh sebagian besar orang. Apalagi yang akan jadi korbannya itu makhluk tidak berdosa yang sebetulnya memiliki hak hidup seperti yang lain juga.

“Deni! Beyb!” teriakannya menyadarkan lamunanku. “Buruan ih, bunuh sekarang!”

“Aduh, Lina sayang, aku beneran tidak bisa melakukannya. Sungguh tidak tega. Bagaimana kalau kamu saja yang melakukannya?”

“Huh, dasar laki-laki tidak bertanggung jawab!” Lina makin kesal. “Padahal ini semua gara-gara kamu tidak mengeluarkan bekas kopimu dari dalam kamar, makanya banyak kecoa mengerubunginya sampai serangga itu terbang dan hinggap di tubuhku! Aku ‘kan jijik.”

“Sekali lagi maaf ya, say..” ucapku tulus. “Tapi sepertinya berkat kamu menggenggam erat kain baju di bagian perutmu itu, si kecoaknya sudah kepejret sampai mati. Fyuh, syukurlah aku tidak jadi mengotori tanganku dengan perbuatan keji itu. Kamu memang hebat, sayang!”

“Kyaaaa!” Lina yang baru sadar kalau kecoak yang menggerayangi tubuhnya sudah mati di tangannya langsung jejeritan. Tubuhnya langsung meronta-ronta sambil meloncat-loncat saking panik dan jijik. “Deni, awas ya! Pokoknya janji lain kali kalau ada sisa makanan atau minuman langsung buang ke luar! Terus, buruan belikan aku baju baru, untuk mengganti baju yang sudah terkena darah kecoak ini. Kyaa!”

“Hahaha, iya, iya, aku janji!”

No comments: