Saturday, June 15, 2019

Cerpen: Terlambat

Terlambat

#30harimenulis_hari_13
651 kata

Saat kubuka pintu ruangan itu, bau apak menguar di udara. Tak aneh, karena sang penghuni ruangan ini, ayah tiriku, sudah meninggal sebulan lalu. Herannya, hanya aku yang mau membersihkan kamar baunya ini. Padahal dibanding anak-anak kandungnya, aku adalah anak yang paling diasingkan olehnya.

Entahlah. Biarpun di luar ayah tiriku seperti membenciku, tetapi dalam lubuk hatinya aku merasa dia ingin mencoba untuk berdamai denganku dan ingin memperlakukanku seperti anaknya yang lain. Tapi mungkin itu hanya firasatku saja, karena pada kenyataannya aku tetap tidak digubris olehnya, apalagi setelah ibuku meninggal 2 tahun lalu. Jadi aku dan dia hanya mengobrol jika ada hal penting saja.

“Uhuk, uhuk!”

Debu dari kasur tempat tidur kamar ini beterbangan saat aku menggebuknya dengan raket nyamuk. Kubuka jendela agar udara kotornya itu bisa keluar. Setelah itu kutepuk-tepuk bantal serta gulingnya.

“Uhuk,” lagi-lagi aku terbatuk, padahal mulutku sudah kututup dengan masker. Duh, lagian kenapa sih aku mau saja mengajukan diri untuk melakukan ini? Memang sih hanya aku yang perempuan dan paling sulung, paling bisa diandalkan, tapi ‘kan ...

Tiba-tiba kenangan buruk dengan ayah tiriku terungkit lagi di pikiranku. Yaitu ketika tahun lalu, saat aku mengenalkan pria yang ingin menjalani hubungan serius denganku. Tanpa alasan yang jelas, niatan itu langsung ditolak mentah-mentah oleh ayah. Padahal aku sudah ikutan memohon-mohon padanya untuk merestui hubungan kami. Tetapi dirinya tetap bergeming. Alhasil, beberapa hari kemudian hubunganku dan pasangan pun harus kandas karenanya. Saat itu pula, aku sudah tidak mau lagi berbicara sepatah kata pun dengan ayah tiriku. Bahkan untuk sekedar bertatap mata pun aku enggan.

Hingga akhirnya bulan lalu, waktu aku bekerja di luar kota, kudengar kabar bahwa dirinya meninggal dunia. Seharusnya aku merasa lega mendengar berita tersebut. Lega karena sudah tak ada ganjalan lagi di dalam hidupku dan sudah tak ada lagi yang mengganggu kedamaian batinku. Tetapi entah kenapa, separuh hatiku ini merasa sedih, sampai tak terasa air mata sudah membasahi pipi.

Huft, sudahlah. Yang lalu biarlah berlalu. Sekarang mari kita fokus bersih-bersih lagi. Lumayan-lah bagian ranjang pun sudah beres kurapikan. Sekarang tinggal membersihkan lemari beserta isinya. Bagian ini paling mudah sih, karena aku tinggal mengeluarkan pakaian di dalamnya dan memasukkannya ke dalam kantong plastik besar yang sudah kusiapkan ini. Rencananya pakaian-pakaian ini akan disumbangkan kepada yang membutuhkan.

BRAK! Suara dentaman keras itu membuatku terlonjak. Rupanya saat mengeluarkan isi dari lemari, lacinya tersangkut ke salah satu baju dan tertarik sampai jatuh. Tak banyak benda yang berserakan akibat jatuhnya laci itu. Hanya ada foto lama ayah dan ibuku, sebuah pulpen, dan selembar foto wisudaku ukuran 6R yang bertuliskan pesan di belakangnya. Dari bentuk tulisannya, sepertinya itu tulisan ayah.

Dengan penuh penasaran, aku pun membacanya:

Nina, maafkan ayahmu ini.
Maafkan aku, karena selama ini aku tidak memperlakukanmu dengan baik.
Padahal jujur saja, cintaku padamu tidak berbeda seperti aku mencintai ibu dan adik-adikmu.
Tetapi entah kenapa setiap melihat wajahmu, aku selalu teringat dengan wajah ayah biologismu yang tega membuang ibumu di saat mengandung. Gara-gara itu malah kau yang jadi kena imbas kemarahanku.
Tadinya aku akan mencoba berdamai dengan kebencianku, tetapi kau sudah tidak mau berbicara denganku atau menatap mataku lagi ya?
Apa gara-gara aku menolak lamaran si playboy itu? Iya, Nina, pria yang kau bawa waktu itu sering kulihat jalan dengan perempuan lain. Bahkan si Inem pelayan kita pernah dipacarinya. Makanya kutolak dia, tapi sepertinya kau salah sangka. Salahku juga sih tidak mau memberikan alasannya. Padahal aku hanya ingin menjagamu dari hal yang tidak baik.
Apapun itu yang pasti, aku benar-benar ingin meminta maaf padamu.
Semoga saja sebelum ajalku menjemput, aku bisa berbicara denganmu lagi, dan mungkin bisa menjadi wali nikahmu saat kau menemukan calon yang lebih baik.
Atau kalaupun tidak, semoga kau bisa membaca curahan hatiku di secarik foto ini.
Salam hangat,
Ayah

Sudah kuduga. Selama ini aku telah salah sangka kepada ayah tiriku. Dasar bodoh! Kau juga ayah, kenapa hal ini tidak kau katakan dari dulu! Huh, kalau sekarang sudah terlambat ‘kan? Tiba-tiba air mata keluar dari sudut mataku. Hmm, sepertinya aku kelilipan debu.

Sekian

No comments: